Perang Aceh, Perang yang Lebih dari 30 Tahun Lamanya

Sobat Zenius, elo tau nggak sih kalau Belanda ternyata butuh waktu sekitar 40 tahun untuk mengalahkan Kerajaan Aceh?

Hah? Kok bisa? Bukannya Belanda lebih canggih dibanding Aceh? Emangnya strategi kayak apa yang Aceh punya sampe Belanda ketar-ketir?

Oke, tapi sebelum gue jawab semua pertanyaan di atas, buka dulu deh link video di bawah ini. Video ini menjelaskan latar belakang secara umum munculnya perjuangan kedaerahan pada masa kolonialisme. Jangan lupa log in (atau daftar kalo elo belum punya akun) supaya elo bisa nonton videonya sampai habis.

Kalau udah selesai nonton, balik ke sini lagi, ya! Karena setelah ini gue mau jelasin lebih dalam tentang Perang Aceh.

Latar Belakang Perlawanan dan Perjuangan Daerah pada Masa Kolonialisme

Penyebab Perang Aceh

Sobat Zenius, elo pasti tau kan kalau di masa lalu, jalur perairan itu penting banget. Wilayah-wilayah strategis yang ada dalam jalur perairan pun jadi incaran negara-negara yang lagi menjelajah, perang, ataupun dagang.

Ketika Terusan Suez dibuka pada tahun 1869, perairan Aceh pun jadi wilayah yang strategis, karena digunakan sebagai jalur lalu lintas perdagangan. Belanda yang lagi gencar-gencarnya menaklukan nusantara akhirnya menganggap Aceh sebagai sasaran empuk.

Baca juga:

Silsilah Kerajaan Samudera Pasai dan Masa Kejayaan

Tapi, keinginan Belanda terhalang oleh Traktat London, perjanjian yang dibuat Belanda dan Inggris pada tahun 1824. Salah satu isi dari perjanjian ini menyebutkan bahwa Belanda harus menghormati kedaulatan Kerajaan Aceh. 

Nah! Perjanjian ini ngebuat Belanda nggak bisa melakukan apapun terhadap Aceh. Akhirnya, Belanda dan Inggris mengatur perjanjian lain, yaitu Traktat Sumatra (1871). Pada intinya, perjanjian ini memberikan kebebasan kepada Belanda untuk memperluas kekuasaannya di Pulau Sumatera.

Baca juga:

Penjajahan Bangsa Eropa di Indonesia Selama 350 Tahun, Benarkah?

Perjanjian ini jelas membuat Kerajaan Aceh merasa terancam. Mereka pun berusaha mencari bantuan dari beberapa negara lain. Mengetahui pergerakan diplomatik Aceh, Belanda nggak diam aja. Wakil Presiden Hindia, F. N. Nieuwenhuyzen bahkan dateng langsung ke Aceh untuk minta penjelasan.

Saat kedatangannya, Wakil Presiden Hindia juga menyampaikan sebuah petisi yang menuntut Aceh agar tunduk terhadap Belanda. Tentu pemimpin Kerajaan Aceh, Sultan Mahmud Syah menolak petisi ini… and the rest is history!

Bagaimana Perjalanan Perang Aceh?

Saking lamanya Perang Aceh, para sejarawan pun membagi peristiwa ini ke dalam empat fase. 

Fase Pertama (1873 – 1874)

Fase pertama Perang Aceh terjadi pada tahun 1873, setelah pernyataan perang dikumandangkan oleh Belanda. Kerajaan Aceh pun segera menyiapkan diri untuk melawan. 

Perang pun dimulai! 3.000 pasukan KNIL Belanda mendarat di Pantai Ceureumen pada tanggal 5 April 1873 di bawah pimpinan Mayor Jenderal Kohler. Sedangkan pasukan Aceh dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah.

Terus siapa yang menang? Yup, Aceh dengan segala kekuatan dan strateginya berhasil memukul mundur Belanda!

Fase Kedua (1874 – 1880)

Meski kalah, Belanda nggak nyerah begitu saja. Pasukan Belanda segera mengatur strategi baru yang dipimpin oleh Jenderal Jan Van Swieten.

Pada serangan yang kedua, Belanda berhasil menguasai istana Kesultanan Aceh Darussalam. Tapi, ini memang moment-nya aja yang tepat, karena saat itu pasukan Aceh emang sedang meninggalkan istana untuk bergerilya.

Pada fase ini, para pejuang Aceh seperti Teuku Umar, Cik Ditiro, Panglima  Polim, dan Cut Nyak Dien berhasil memobilisasi rakyat Aceh untuk bergerilya melawan Belanda. Ternyata, strategi ini berhasil membuat Belanda kewalahan. Fase kedua pun kembali dimenangkan oleh Aceh.

Baca juga:

Kehidupan Kerajaan Aceh dan Silsilahnya

Fase Ketiga (1881 – 1896)

Kalau ada satu hal yang bisa kita tiru dari Belanda di sini, ya ini nih semangatnya yang nggak abis-abis. Kegagalan demi kegagalan yang diterima oleh Belanda nggak menyurutkan semangat mereka dalam menguasai Aceh. Justru Belanda makin lihai menyusun strategi. Kali ini, mereka menggunakan siasat dari dalam.

Christian Snouck Hurgronje merupakan seorang ahli Bahasa Arab dan Agama Islam yang dikirim oleh Belanda untuk mendekati para ulama Aceh. Ia menyamar dengan menggunakan nama samarannya, yaitu Haji Abdul Ghaffar. Penyamaran ini ia gunakan untuk mendapatkan info sebanyak-banyaknya tentang Aceh, yang nantinya akan dilaporkan ke pasukan Belanda.

Tapi, ternyata pihak Aceh pun melakukan hal yang sama. Suami Cut Nyak Dien, Teuku Umar, berpura-pura menyerah kepada Belanda. Belanda pun menghargai keputusannya itu dengan menjadikannya panglima dan diberi gelar Teuku Johan Pahlawan. Nggak hanya itu, Teuku Umar juga diberikan kesatuan tentara yang berjumlah 250 orang.

Alih-alih menyerang negaranya sendiri, Teuku Umar justru melakukan serangan balik melawan pasukan Belanda pada tanggal 29 Maret 1896. Peristiwa ini terkenal dengan nama Het Verraad van Teukoe Oemar atau pengkhianatan Teuku Umar.

Terus respon Belanda? Ya, jelas mereka marah. Mereka pun segera menagih laporan dari Snouck Hurgronje. Baru lah Belanda mengetahui bahwa kekuatan Aceh selama ini adalah semangat yang didasarkan pada tali persaudaraan sesama Muslim.

Fase Keempat dan Akhir (1896 – 1910)

Berulang kali kalah, akhirnya Belanda menemukan strategi yang sesuai. Belanda membentuk Korps Marchausse, pasukan yang terdiri dari orang-orang Indonesia yang dibawahi pemimpin Belanda. Dengan pasukan ini, strategi gerilya Aceh dapat mudah dikalahkan. Bahkan, pada tahun 1899 Teuku Umar tewas pada pertempuran di Meulaboh.

Tewasnya Teuku Umar nggak mematahkan semangat juang rakyat Aceh. Perjuangan masyarakat kini dipimpin oleh Cut Nyak Dien bersama Pocut Baren. Sayangnya, pertahanan rakyat Aceh semakin lama semakin melemah karena terus mendapatkan tekanan dari Belanda.

Perjuangan rakyat Aceh berada di titik terendah ketika Cut Nyak Dien ditangkap pada tahun 1905 dan meninggal pada tahun 1910. Kematiannya menjadi tanda berakhirnya perjuangan Aceh dalam melawan Belanda.

Dampak Perang Aceh

Ketika Belanda mengalahkan suatu daerah, daerah tersebut tentu berada dalam kuasa mereka. Begitu pun dengan Aceh. Aceh mau tidak mau tunduk dan mengakui kedaulatan Belanda, serta menyerahkan seluruh wilayahnya.

Kerugian yang sangat besar juga dirasakan oleh Belanda. Mereka mengeluarkan sumber daya yang tidak sedikit selama untuk membiayai perang yang berlangsung selama kurang lebih 40 tahun. 

Kemudian, banyaknya korban yang gugur tentu meninggalkan luka bagi kedua pihak yang terlibat. Dari sini, kita bisa belajar bahwa segala bentuk peperangan menghasilkan kerugian yang begitu besar, bahkan bagi pihak yang menang.

Tokoh-Tokoh Penting yang Terlibat dalam Perang Aceh

Sobat Zenius, di atas tadi pasti elo ngelihat banyak nama yang terlibat dalam perang Aceh. Nah, gue buatin daftar supaya bisa elo ingat dengan mudah dan bisa pelajari lebih dalam.

Berikut daftar tokoh Aceh yang berperan dalam perang ini: 

  • Panglima Polim, 
  • Sultan Mahmud Syah, 
  • Tuanku Muhammad Dawood, 
  • Teuku Umar, 
  • Teuku Cik Ditiro, 
  • Cut Nyak Dien, dan
  • Pocut Baren 
Tokoh Aceh yang terlibat dalam Perang Aceh
Tokoh-tokoh dalam Perang Aceh (Arsip Zenius)

Sementara, ini tokoh Belanda yang berperan dalam Perang Aceh: 

  • J.H.R Kohler, 
  • Jan van Swieten, dan
  • Snouck Hurgronje
Tokoh Belanda yang terlibat dalam Perang Aceh
Tokoh Belanda yang terlibat dalam Perang Aceh (Arsip Zenius)

Guys, itu tadi pembahasan gue tentang perang Aceh. Super seru, kan? Kalau Sobat Zenius mau mempelajari tentang materi ini lebih dalam, elo bisa tonton video pembelajaran Zenius dengan klik banner di bawah ini!

Sejarah Perang Aceh: Perang Terlama yang Harus Dihadapi Belanda 17

Sobat Zenius juga bisa belajar mata pelajaran lainnya melalui video pembelajaran lewat paket belajar Aktiva Sekolah dari Zenius. Segera aktifkan paketnya supaya elo bisa ikut try out sekolah, sesi live class, serta mendapatkan akses rekaman dari setiap live class.

Sejarah Perang Aceh: Perang Terlama yang Harus Dihadapi Belanda 18

Sampai ketemu di artikel lainnya!

Penulis: Atha Hira Dewisman

Referensi Pustaka:

Ibrahim, Alfian. (1987) Perang di Jalan Allah. Jakarta: Sinar Harapan

Veer, Paul Van’ T. (1985). Perang Aceh. Jakarta: Grafiti Press

Wahid, F. (2018). Kontribusi Cut Nyak Dien dalam Perang Aceh (1873-1908) (Bachelor’s thesis, Jakarta: Fakultas Adab & Humaniora UIN Syarif Hidayatullah).

Latar Belakang, Perang Makassar, hingga Julukan Ayam Jantan dari Timur

Hai, sobat Zenius! Kali ini gue akan membahas seorang tokoh yang dijuluki “Ayam Jantan dari Timur”. Hmm, siapa, ya? Yup, betul banget! Gue akan membahas latar belakang Sultan Hasanuddin dan perannya dalam Perang Makassar. Jadi kalau suatu saat ada pertanyaan:

“Apa yang kamu ketahui tentang Sultan Hasanuddin?”

Elo bisa langsung cerita panjang lebar seakan-akan elo sedang menceritakan kisah kakek elo sendiri. Tanpa basa-basi mari kita selami lebih jauh kisah perjuangan Sultan Hasanuddin melawan Belanda.

Latar Belakang Sultan Hasanuddin

Sultan Hasanuddin: Latar Belakang, Perang Makassar, hingga Julukan Ayam Jantan dari Timur 26

Sultan Hasanuddin adalah Sultan Gowa ke-16 yang memimpin Kerajaan Islam Gowa-Tallo dari tahun 1653-1669. Ia lahir pada 12 Januari 1631 di Makassar, Sulawesi dan meninggal pada usia 39 tahun pada 12 Juni 1670 di Gowa, Sulawesi. 

Ia dikenal sebagai pemimpin yang sangat gigih melawan Belanda dan pandai dalam berdagang. Berdasarkan surat Keputusan Presiden No.087/TK/1973, Sultan Hasanuddin diangkat menjadi salah satu Pahlawan Nasional pada 6 November 1973.

Sultan Hasanuddin ini sering disebut Sultan Kerajaan Gowa, Sultan Kerajaan Gowa-Tallo, atau juga Sultan Kerajaan Makassar. Eh, beliau Sultan dari tiga kerajaan? Nggak, guys! Sebenarnya tiga kerajaan ini mengacu pada kerajaan yang sama. Nanti kita akan bahas soal daerah asal Sultan Hasanuddin ya.

Sultan Hasanuddin lahir dengan nama Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape. Nama ini diberikan oleh Qadhi Islam Kesultanan Gowa, Syeikh Sayyid Jalaludin bin Ahmad Bafaqih Al-Aidid. Ketika ia mulai mengaji, Ia berganti nama menjadi Muhammad Bakir. 

Kemudian ketika ia naik tahta, ia berganti nama menjadi Sultan Hasanuddin. Kemudian saat Sultan Hasanuddin tutup usia, ia diberi gelar Tumenanga Ri Balla Pangkana. Jadi, jangan bingung, ya, kalau nanti nama Sultan Hasanuddin disebutkan secara berbeda-beda di artikel ini.

Masa kecil Muhammad Bakir

Ketika Muhammad Bakir berumur delapan tahun, ayahnya, Sultan Muhammad Said naik tahta sebagai Raja Gowa ke-15. Pada umur yang sama, Muhammad Bakir mulai mendapatkan pendidikan keagamaan di Masjid Bontoala.

Ternyata sejak kecil, Muhammad Bakir sudah dikenal sebagai seseorang yang cerdas, pantang menyerah, dan pandai memimpin. Walau ia adalah anak raja, ia bergaul dengan teman-temannya yang berasal dari golongan rakyat biasa. Justru ia akan marah bila ada anak bangsawan yang sombong terhadap rakyat biasa. 

Muhammad Bakir dikenal sebagai pribadi yang jujur dan hormat terhadap orang tua. Ketika ia berumur 15 tahun, ia dideskripsikan sebagai pemuda gagah perkasa dengan tubuh yang kuat dan wibawa yang besar serta rasa kemanusiaan yang luhur.

Masa Dewasa Muhammad Bakir hingga Menjadi Sultan

Sultan Muhammad Said sering mengajak Muhammad Bakir menghadiri pertemuan penting agar ia bisa mempelajari ilmu diplomasi dan strategi perang. Bahkan, Muhammad Bakir beberapa kali diberi kepercayaan untuk menjadi delegasi yang mengirimkan pesan ke berbagai kerajaan lainnya. 

Karena kecakapan dan karakternya, Sultan Muhammad Said menetapkan bahwa Muhammad Bakir kelak akan memangku jabatan Raja. Kemudian saat Muhammad Bakir menginjak umur 22 tahun, Sultan Muhammad Said wafat, sehingga Muhammad Bakir naik tahta sebagai Sultan Hasanuddin, Raja Gowa ke-16. 

Nah, mungkin elo bertanya-tanya bukannya ada juga yang bilang kalau Sultan Hasanuddin menjadi raja ketika berumur 24 tahun ya? Ya, memang ada dua versi sejarah yang menjelaskan bahwa Sultan Hasanuddin menjadi raja saat ia berusia 24 tahun pada 1655 atau saat dia berusia 22 tahun pada 1653.

Ada hal menarik tentang pengangkatan Sultan Hasanuddin. Sebenarnya bila mengikuti adat kebiasaan, Muhammad Bakir tidak berhak menduduki tahta, karena ketika ia lahir, ayahnya belum menjadi raja. Namun, putra mahkota saat itu, Daeng Matawang, dan para bangsawan lainnya menyetujui pengangkatan Sultan Hasanuddin. 

Masa Pemerintahan Sultan Hasanuddin

Sultan Hasanuddin pun akhirnya memimpin Kerajaan Gowa-Tallo di ujung selatan Pulau Sulawesi dengan ibukota Somba Opu yang terletak di pantai Selat Makassar. Di bawah kekuasaan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Gowa-Tallo mencapai masa keemasannya sebagai pusat perdagangan terbesar di Indonesia bagian timur. 

Kerajaan ini merupakan penghubung antara wilayah barat yang terdiri dari Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sumatera, dan semenanjung Malaka, dengan wilayah timur yang terdiri dari Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara. Selain itu, Sultan Hasanuddin memperluas wilayah kekuasan Kerajaan Gowa-Tallo hingga Ternate dan Sumbawa. 

Pada masa kepemimpinan Sultan Hasanuddin, Belanda merasa tidak senang karena keadaan dan kebijakan Kerajaan Gowa-Tallo pada bidang perdagangan tidak sesuai dengan harapan Kongsi Dagang Belanda yaitu VOC (atau Vereenigde Oostindische Compagnie).

Baca Juga: Silsilah dan Peninggalan Kerajaan Gowa Tallo

Kerajaan Gowa-Tallo VS VOC

Sejak tahun 1616, era pemerintahan Sultan Alaudin, sudah terjadi ketegangan antara VOC dan Kerajaan Gowa-Tallo. Kompeni Belanda alias VOC telah berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah di daerah-daerah Indonesia Timur dengan mengadakan perhitungan bersama orang Spanyol dan Portugis. Mereka memaksa rakyat menjual rempah-rempah dengan harga yang ditetapkan oleh mereka. 

Selain itu, VOC malah menyuruh rakyat menebang pohon pala dan cengkih di beberapa tempat. Loh kok malah ditebang? Iya, supaya jumlah rempah-rempah terbatas sehingga nilainya pun naik. Kalau dilihat dari sisi orang Nusantara kita, ini hal yang sangat menjengkelkan, bukan? Sudah maksa beli pakai harga murah, seenaknya nyuruh tebang pohon lagi. Ini dapat melemahkan ekonomi rakyat dan kerajaan. Pada saat itu, daerah-daerah di Indonesia Timur sudah berhasil dimonopoli Belanda, hanya Kerajaan Gowa-Tallo yang masih selalu tegas menolak monopoli dagang yang dilakukan VOC 

Sama seperti para pendahulunya, Sultan Hasanuddin pun tidak setuju apabila VOC melakukan monopoli perdagangan. Hal ini dikarenakan ada idealisme yang dipegang oleh kerajaan Gowa-Tallo, yaitu Tuhan Yang Maha kuasa telah menciptakan bumi dan lautan. Bumi telah dibagikan di antara manusia, begitu pula lautan telah diberikan untuk umum. Tidak pernah terdengar bahwa pelayaran di lautan dilarang bagi seseorang. Jika Belanda melarang hal itu, maka berarti Belanda seolah-olah mengambil nasi dari mulut orang lain.

Belanda pun terus berusaha menghancurkan Kerajaan Gowa-Tallo, yang merupakan rival perdagangan rempah-rempah mereka. Oleh karena itu, Sultan Hasanuddin tidak segan-segan mulai melakukan perlawanan terhadap Belanda. Untuk melawan VOC, Sultan Hasanuddin berusaha mempersatukan daerah-daerah di timur Indonesia dan membentuk kekuatan militer serta persiapan perang. 

Perang Makassar

Tentu saja untuk mempersatukan daerah-daerah ini, ada kerajaan yang harus ‘dijajah’ dong. Walau Sultan Hasanuddin sebelumnya dielu-elukan sebagai sultan berwibawa yang jago memimpin perang, tentu sultan ini tidak disukai oleh musuh-musuhnya yaitu pihak yang dikalahkan oleh Kerajaan Gowa-Tallo. Nah, salah satu pentolan pemberontak yang berani melawan Sultan Hasanuddin tidak lain dan tidak bukan ialah Arung Palakka.

Arung Palakka merupakan pemimpin dari Kerajaan Bone. Kisah Arung Palakka pun tidak kalah menarik dengan kisah Sultan Hasanuddin tapi gue nggak akan panjang-panjang menceritakannya supaya artikel ini tidak berubah menjadi buku yah guys. 😀

Singkatnya, Arung Palakka dan suku Bugis dari Kerajaan Bone diperlakukan dengan tidak baik oleh Kerajaan Gowa-Tallo. Mereka dipaksa bekerja siang-malam untuk menggali parit. Perlakuan ini menyebabkan Arung Palakka tergerak untuk memberontak. 

Belanda mengendus percikan konflik antara Kerajaan Gowa-Tallo dan Kerajaan Bone sehingga VOC langsung memanfaatkan keadaan ini. Nantinya Kerajaan Bone yang dulunya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo akan membantu VOC. 

Nah, selanjutnya kita akan lanjut ke puncak konflik antara VOC dan Kerajaan Gowa-Tallo di Perang Makassar sebagai puncak bentuk perlawanan Gowa-Tallo terhadap VOC yang bekerja sama dengan Kerajaan Bone.

Baca Juga: 4 Alasan Besar Penyebab VOC Bubar

Sultan Hasanuddin: Latar Belakang, Perang Makassar, hingga Julukan Ayam Jantan dari Timur 27

Perang Makassar berlangsung pada tahun 1666-1669. Pada tahun 1660 ada titah dari petinggi Gowa untuk mengerahkan 10.000 orang Bone untuk melakukan penggalian parit di sepanjang garis pertahanan di pantai pelabuhan Makassar. Pekerjaan tersebut dilakukan oleh baik rakyat maupun bangsawan Bone sehingga dianggap melukai harga diri Bone. 

Di antara pekerja tersebut, ada Arung Palakka yang pada akhirnya bersama dengan para pemimpin Bugis lainnya melakukan pemberontakan. Arung Palakka pun dikejar oleh Gowa-Tallo namun berhasil melarikan diri dengan berlayar ke Buton. Di sana ia mendapatkan perlindungan dari Sultan Buton. Kemudian, ia meminta bantuan ke Batavia. 

Kemudian pada tanggal 31 Desember 1666, armada VOC di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Janzoon Speelman sampai di Kerajaan Buton. Kerajaan tersebut sedang dikepung rapat oleh pasukan-pasukan dan armada Kerajaan Gowa untuk menghukum Sultan Buton yang memberi perlindungan kepada Arung Palakka dan sekutunya.

NAH INI NIH YANG MEMBUAT GOWA-TALLO KETAR KETIR.

Jadi, saat itu pasukan-pasukan Kerajaan Gowa yang kurang lebih berkekuatan 15.000 orang yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Makassar, Bugis dan Mandar. Ya, jadi sebagian dari mereka memang adalah orang-orang dari kerajaan yang dijajah Gowa-Tallo. Begitu para orang Bugis mendengar bahwa Arung Palakka datang, mereka yang jumlahnya beribu-ribu menganggap bahwa mereka akan bebas. Oleh karena itu, mereka justru balik menyerang Kerajaan Gowa.

Di sisi lain, orang Mandar tidak merasa berkewajiban untuk membela Kerajaan Gowa-Tallo. Maka, pasukan Gowa pun menjadi kacau balau karena adanya perang internal ini sehingga sangat mudah untuk dilumpuhkan oleh pihak luar. Jadi, sebenarnya kekalahan pasukan atau armada Gowa itu bukan sepenuhnya karena Belanda, justru adanya kekacauan dan peperangan di antara pasukan internal yang membuat Gowa melemah. 

Selain itu, Gowa tidak hanya harus melawan Belanda dan Kerajaan Bone, namun juga harus melawan sekutu mereka seperti Mandarsyah (Raja Ternate), Kapten Jonker (dari Ambon), dan Buton.

Peperangan-peperangan sengit pun terjadi dan sedikit demi sedikit kekuasaan Gowa mulai memudar hingga pada tanggal 26 Oktober 1667, Belanda dan sekutunya berhasil sampai ke Benteng Somba Opu yang merupakan kediaman Sultan Hasanuddin. Lalu apa yang terjadi?

Baca Juga: 10 Kerajaan Maritim Islam di Indonesia

Perjanjian Bongaya

Setelah terdesak, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani sebuah perjanjian yang biasa disebut Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667 di Bungaya. Sebenarnya isi perjanjian ini ada 30 pasal spesifik ya, tapi kira-kira begini isinya secara garis besar:

  • Belanda mendapat hak monopoli di Makassar
  • Makassar harus melepaskan daerah jajahannya
  • Belanda boleh mendirikan benteng di Makassar
  • Arung Palakka harus diakui sebagai Raja Bone
  • Makassar ganti rugi biaya perang
  • Dan lain sebagainya

Tentu saja perjanjian tersebut sangat merugikan Kerajaan Gowa-Tallo. Oleh karena itu, Sultan Hasanuddin kembali memimpin sebuah perlawanan pada tahun 1669. Namun pada akhirnya Belanda berhasil menguasai benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Somba Opu pada tanggal 24 Juni 1669 sehingga Kerajaan Gowa-Tallo harus kembali tunduk. 

Sultan  Hasanuddin pun mengundurkan diri dari tahtanya  dan menurunkan tahtanya kepada putranya, I Mappasomba Daeng Nguraga, dengan bergelar Sultan Amir Hamzah.

Kenapa Sultan Hasanuddin disebut Ayam Jantan Dari Timur?

Dari kisah sebelumnya, elo pasti bisa membayangkan betapa gagah dan pantang menyerahnya Sultan Hasanuddin ketika melawan Belanda. Nah, Belanda menjuluki Sultan Hasanuddin sebagai “De Haantjes van Het Oosten” atau Ayam Jantan Dari Timur karena ia merupakan seorang sultan dari kerajaan bagian timur yang sangat agresif dan gigih ketika berperang.

***

Bagaimana sobat zenius, apakah elo ada pertanyaan seputar topik kita kali ini? Kalau elo punya pertanyaan maupun pernyataan, jangan ragu buat komen di kolom komentar, oke? Sampai sini dulu artikel kali ini dan sampai jumpa di artikel selanjutnya, ciao!

Diperbarui oleh: Atha Hira Dewisman