Jenis Penyimpangan Sosial, Individual, dan Kolektif

Di materi Sosiologi Kelas 10 ini, kita akan membahas jenis penyimpangan sosial. Hal ini berkaitan dengan penyimpangan individual dan penyimpangan kolektif. Yuk, kita bahas!

Halo, masyarakat Zenius! Coba sekarang gue tanya, apakah kalian pernah ngupil di depan temen, terus dia protes, “Eh, jorok amat, sih!”

Selain itu, kalau kentut di hadapan teman-teman kalian, tentunya bakal diprotes juga, “Gak sopan! Bau!”

Nah, kalau di Sosiologi, semua protes itu terjadi karena tindakan-tindakan tersebut dianggap sebagai penyimpangan sosial.

“Yaelah, gue kan cuma kentut dan ngupil, ngapa malah jadi penyimpangan!”

Kentut dan ngupil itu bisa jadi penyimpangan sosial, kalau dilakukan di hadapan orang lain. Kenapa? Coba kita balik ke konsep dasar tentang penyimpangan dan konsep-konsep yang berkaitan dengan penyimpangan sosial.

Penyimpangan sosial adalah perilaku atau tindakan yang tidak sesuai atau melanggar nilai dan norma.Biar lebih paham, elo harus tahu konsep-konsep apa saja yang berkaitan dengan penyimpangan sosial karena sosiologi merupakan keterkaitan antarkonsep. Misalnya, pembahasan mengenai penyimpangan sosial erat kaitannya dengan sosialisasi, nilai dan norma, kontrol atau pengendalian sosial, dan konformitas dan non-konformitas.

Kalian masih ingat dengan materi-materi yang gue sebut di atas nggak? Kita review sedikit materi-materi tersebut supaya ngebantu elo nemu koneksinya, ya. 

Nilai bisa dianggap sebagai sesuatu yang “berharga”, hal yang baik, atau ukuran baik-buruk di masyarakat. Sedangkan norma adalah seperangkat aturan yang dibuat berdasarkan suatu nilai.

Ada proses sosialisasi agar kita mempelajari dan tahu tentang nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Proses sosialisasi tersebut bertujuan agar kita bertindak sesuai dengan norma yang berlaku. 

Kemudian, kalau kita sudah bertindak sesuai dengan norma yang berlaku, artinya kita sudah konform. Kalau tindakan kita tidak sesuai dengan norma, itu artinya kita non-konform atau menyimpang. 

Salah satu faktor penyebab penyimpangan sosial adalah akibat dari proses sosialisasi tidak sempurna. Nah, penyimpangan sosial, disebut juga non-konformitas, akan dibahas lebih dalam pada artikel ini. 

Selanjutnya, sesuatu yang menyimpang pasti ada konsekuensi atau sanksi tergantung pada norma yang berlaku. Pemberian sanksi merupakan upaya pengendalian sosial atau kontrol sosial agar kita menjadi konform dan kembali taat dengan norma yang berlaku.

Kembali lagi dengan contoh perilaku menyimpang di awal, dua tindakan yang aduhai tersebut–kentut dan ngupil–adalah bentuk pelanggaran norma kesopanan. Mungkin aja, ada masyarakat di negara selain Indonesia yang tidak menganggap hal ini sebagai pelanggaran terhadap norma kesopanan.

Ilustrasi penyimpangan sosial
Ilustrasi penyimpangan sosial (Arsip Zenius).

Kalau ngupil dan kentut di hadapan orang lain bukan merupakan pelanggaran terhadap nilai dan norma, itu berarti tindakan tersebut bukanlah suatu bentuk penyimpangan sosial.

Nah, setelah elo tahu kalau melakukan penyimpangan sosial di Indonesia itu sesimpel dengan ngupil dan kentut di hadapan orang lain, apa aja sebenernya jenis-jenis dari penyimpangan sosial?

Baca Juga: Pengertian dan Jenis Kriminalitas – Materi Sosiologi Kelas 10

Jenis Penyimpangan Sosial

Oke, jenis-jenis penyimpangan sosial ini bakal gue bagi berdasarkan tiga hal, yaitu:

  1. Menurut Lemert (berdasarkan tingkat keparahan)
  2. Berdasarkan Pelaku
  3. Berdasarkan Sifatnya

Kita mulai dari yang pertama, ya!

Lemert adalah seorang sosiolog asal Amerika Serikat yang terkenal dengan Teori Labeling. Sekilas tentang Teori Labeling, Lemert berpendapat label atau julukan negatif yang disematkan pada seseorang dapat membuat perilakunya menyimpang. Jadi, seseorang menyimpang atau semakin menyimpang (dari primer ke sekunder) karena label yang disematkan padanya.

Menurut Lemert, penyimpangan sosial itu bisa dibagi menjadi dua, yaitu penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder. Pembagian versi Lemert ini adalah penyimpangan sosial berdasarkan tingkat keparahannya.

Kalau penyimpangan primer, umumnya adalah penyimpangan yang masih bisa dimaklumi atau ditoleransi oleh masyarakat. Selain itu, jenis penyimpangan ini adalah penyimpangan sosial yang tidak dilakukan berulang oleh pelaku. Intinya, nggak parah-parah amat, gitu. Contohnya, ya tadi itu, ngupil dan kentut di sekitar orang lain.

Selama masih bisa dimaklumi oleh masyarakat, itu namanya penyimpangan primer. Selain itu, contoh penyimpangan primer yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari, adalah menyontek ketika ujian sedang dilaksanakan.

Ilustrasi penyimpangan primer
Ilustrasi penyimpangan primer (Arsip Zenius).

Kalau penyimpangan sekunder, itu adalah penyimpangan yang sama sekali tidak bisa diterima oleh masyarakat. Pokoknya, udah parah banget, gitu. Umumnya penyimpangan ini mengarah pada tindakan kriminal, yaitu perampokan, pelecehan seksual, korupsi, dan lain-lain.

Ilustrasi penyimpangan sekunder
Ilustrasi penyimpangan sekunder (Arsip Zenius).

Selain tingkat keparahannya, jenis penyimpangan sosial juga bisa dilihat berdasarkan pelakunya.

Berdasarkan Pelaku

Penyimpangan ini bisa dipahami juga dengan jenis penyimpangan berdasarkan jumlah pelakunya. Berdasarkan pelakunya, penyimpangan dibagi menjadi dua, yaitu penyimpangan individu dan penyimpangan kolektif (kelompok).

Kalau penyimpangan individu, jelas dilakukan oleh satu orang aja. Contoh penyimpangan individu bisa ditemukan seperti pada saat ujian, lalu ada salah satu siswa yang menyontek hasil pekerjaan siswa lainnya.

Nah, kalau jumlah pelaku penyimpangannya sudah berkelompok, itu namanya penyimpangan kolektif atau penyimpangan kelompok. Intinya, penyimpangan ini dilakukan bersama-sama. Contoh penyimpangan kelompok dapat juga ditemukan pada kondisi yang mirip dengan contoh sebelumnya, yakni menyontek apabila menyontek dilakukan secara koletif dan melibatkan banyak murid.

Selanjutnya, ada jenis penyimpangan sosial yang menurut gue cukup menarik, yaitu jenis penyimpangan berdasarkan sifatnya.

Baca Juga: Materi Sosiologi Kelas 10: Sosialisasi

Berdasarkan Sifatnya

Kalau berdasarkan sifatnya, penyimpangan sosial bisa dikelompokkan menjadi penyimpangan positif dan penyimpangan negatif.

Nah, penyimpangan positif adalah tindakan yang sebenarnya tidak sesuai dengan nilai dan norma, tetapi ada proses kreatif dan inovasi di situ. 

Contoh penyimpangan positif bisa kita lihat dari contoh kasus berikut. Nilai dan norma di Indonesia yang umumnya memegang sistem patriarki, membuat seorang istri yang ingin berkarier dalam ranah publik akan dianggap melanggar nilai dan norma, yang melihatnya terbatas pada ranah privat saja, yaitu rumah tangganya. 

Nah, ketika perempuan tersebut memilih untuk berkarier dalam ranah publik, dia akan dianggap menyimpang, tetapi penyimpangan ini sifatnya positif. Penyimpangan jenis ini lebih dapat diterima oleh masyarakat karena adanya dampak positif yang dihasilkan, meski tidak sesuai dengan nilai dan norma di masyarakat.

Sedangkan penyimpangan negatif adalah penyimpangan yang secara terang-terangan melanggar nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat dan dapat dikenakan sanksi. Contoh penyimpangan negatif seperti berbohong, mencuri, hingga korupsi.

Contoh lainnya adalah membolos. Perilaku membolos sekolah merupakan bentuk penyimpangan negatif karena memberi dampak buruk atau negatif bagi individunya seperti penurunan nilai. Perilaku membolos juga dapat dikatakan sebagai penyimpangan primer karena masih dapat ditoleransi. Siswa yang membolos masih diperbolehkan untuk bersekolah dan tidak dikeluarkan dari sekolah.

Beda Kriminalitas dan Penyimpangan

Apakah penyimpangan itu sama dengan kriminalitas? Gue ambil contoh perampokan deh, kenapa perampokan itu disebutnya kriminalitas, bukan penyimpangan? Padahal perampokan juga melanggar norma. 

Perampokan disebut kriminalitas karena perilaku tersebut telah diatur dalam undang-undang atau norma hukum. Jadi, penyimpangan berbeda dengan kriminalitas. Sesuatu dikatakan kriminalitas apabila perilaku tersebut melanggar hukum. Namun, tidak semua pelanggaran hukum juga disebut kriminalitas, beberapa hanya disebut sebagai pelanggaran hukum saja, misal tidak membawa SIM saat berkendara.

Nah, kalau elo ketemu soal seperti ini “Perilaku menyimpang akan menjadi kejahatan jika …,” elo pasti sudah tau dong jawabannya.

Baca Juga: Mengenal Tokoh Sosiologi dan Teorinya – Sosiologi Kelas 10

Faktor-faktor Penyebab Penyimpangan Sosial

Kenapa seseorang atau kelompok melakukan penyimpangan? Ada beberapa faktor penyebab penyimpangan sosial, di antaranya adalah sosialisasi tidak sempurna, differential association, subbudaya menyimpang, dan Teori Adaptasi. Ayo, kita bahas satu-satu!

Sosialisasi Tidak Sempurna

Coba elo ingat lagi, apa itu sosialisasi? Singkatnya, sosialisasi adalah proses “menjadi manusia” agar diterima di masyarakat. Apa saja yang dipelajari dalam proses sosialisasi? Kita belajar nilai, norma, peran, status, dan sebagainya. Nah, siapa yang mengajarkan itu? Ya, agen sosialisasi.

Dikatakan sosialisasi tidak sempurna serta dapat menjadi penyimpangan ketika nilai, norma, peran, status, dan sebagainya tidak sepenuhnya diajarkan oleh agen sosialisasi. Contohnya, orang tua sebagai agen sosialisasi tidak mengajarkan anaknya untuk makan dengan tangan kanan, si anak akan tumbuh dan menganggap bahwa makan dengan makan tangan kiri adalah suatu hal yang biasa. 

Lalu, ketika si anak terjun ke masyarakat, ia dianggap menyimpang. Kenapa seperti itu? Karena anak tidak diajarkan dengan baik oleh agen sosialisasinya atau orang tuanya.

Differential Association

Untuk membahas faktor yang satu ini, coba elo ingat lagi tentang agen sosialisasi. Gue ambil contoh agen-agen seperti berikut: keluarga, teman sekitar rumah, dan teman di sekolah. Selama hidup, mungkin elo nggak cuma bersosialisasi dengan keluarga saja, tetapi juga dengan teman sekitar rumah dan di sekolah.

Misalnya di keluarga elo, elo diajarkan bahwa mencuri itu hal terlarang. Lalu, elo bertemu dengan teman sekolah yang menurut mereka mencuri itu boleh asal sedikit. Kemudian, elo ketemu lagi nih dengan teman di sekitar rumah yang memiliki nilai kalau boleh-boleh saja mencuri. 

Nah, secara terus-menerus, elo berinteraksi dengan teman-teman elo baik di sekitar rumah maupun di sekolah. Lama-kelamaan nilai yang ditanamkan oleh orang tua elo goyah dan nilai elo berubah. Sekarang, elo jadi ikut-ikutan menyimpang seperti temen-temen elo.

Elo harus inget kalau agen sosialisasi memberikan pengaruh terhadap nilai dan norma. Ada hal yang ditanamkan dalam interaksi-interaksi tersebut. Penyimpangan dipelajari dari proses interaksi yang terus-menerus. 

Subbudaya Menyimpang

Subbudaya adalah kelompok yang nilai, norma, dan perilakunya berbeda dari masyarakat umum, misalnya komunitas pengoleksi perangko, komunitas cosplay, dan komunitas pencopet. 

Dari tiga contoh di atas, manakah yang merupakan subbudaya menyimpang? Yap, benar banget, komunitas pencopet. Kenapa demikian? Karena komunitas pencopet merupakan kelompok yang mewajarkan perilaku menyimpang atau bahkan kriminalitas. Kelompok tersebut menentang nilai dan norma yang berlaku. Nah, jika kita sering berinteraksi dengan kelompok tersebut, bisa jadi kita akan mengikuti nilai kelompok tersebut (differential association). 

Lalu, bagaimana dengan kedua contoh lainnya? Komunitas pengoleksi perangko dan komunitas cosplay memang memiliki perbedaan nilai, norma, dan perilaku, tetapi tidak menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku. Mengoleksi perangko memang tidak biasa, karena biasanya perangko digunakan jika mengirim surat dan menggunakan cosplay juga tidak umum. Keduanya berbeda, tetapi keduanya tidak menentang nilai dan norma yang berlaku.

Teori Adaptasi (Menurut Robert K. Merton)

Munculnya keadaan menyimpang bisa jadi merupakan bentuk adaptasi terhadap situasi tertentu. Untuk mengetahui hal tersebut, elo harus mengetahui tentang Strain Theory yang dicetuskan Robert K. Merton. 

Intinya, dalam teori tersebut melihat dua poin penting, yaitu goal (tujuan) dan means (cara). Merton membagi cara-cara adaptasi untuk mencari kesesuaian antara tujuan dan cara ke dalam lima tipologi.

Yuk, kita bahas satu per satu!

Pertama, conformity, sebenarnya tidak dapat dipandang sebagai suatu penyimpangan karena baik tujuan dan cara, keduanya dapat diterima dalam masyarakat. Misalnya, elo mau nilai ujian yang bagus (tujuan), elo harus belajar dengan baik (cara).

Kedua, innovation, ketika tujuan elo umum atau bisa diterima, tetapi cara elo nggak bisa diterima. Misalnya, elo mau nilai ujian yang bagus (tujuan), tetapi elo mendapatkannya dari menyontek pekerjaan teman elo (cara).

Ketiga, ritualism, cara yang elo lakukan sesuai dengan nilai dan norma, tetapi tujuan elo tidak lagi sama. Misalnya, elo sudah nggak peduli dengan nilai dan sekolah, elo sekolah cuma untuk mengisi waktu luang (tujuan), tetapi elo tidak menyontek dan membolos (cara).

Keempat, retreatism, elo sudah memiliki tujuan dan cara yang tidak lagi sama atau tidak sesuai dengan nilai dan norma. Misalnya, elo sudah nggak peduli dengan nilai dan sekolah, elo sekolah cuma untuk mengisi waktu luang (tujuan). Secara bersamaan, elo juga menyontek dan membolos (cara).

Kelima, rebellion, elo menolak dan merumuskan kembali tujuan serta cara yang sudah umum. Hal ini tidak selalu buruk. Misalnya, Revolusi Prancis, Reformasi 1998, dan sebagainya.

Pengendalian Sosial atau Kontrol Sosial

Bentuk pengendalian sosial yang efektif dan tepat mempertimbangkan berbagai hal seperti berikut.

  1. Seberapa berat penyimpangan melanggar norma yang ada.
  2. Seberapa membahayakan perilaku yang dilakukan.
  3. Seberapa besar dampak terhadap keteraturan di masyarakat.

Bentuk-bentuk pengendalian yang ditempuh pun beragam. 

Berdasarkan sifat, ada bentuk pengendalian penyimpangan sosial preventif dan represif. Preventif adalah pengendalian dengan cara mencegah sebelum penyimpangan terjadi, contohnya sosialisasi, penyuluhan, dan imbauan. Berbeda dengan preventif, represif adalah pengendalian dengan cara menanggulangi setelah penyimpangan terjadi, contohnya hukuman dan sanksi.

Ada juga nih pengendalian sosial persuasif dan pengendalian sosial koersif. Pengendalian sosial persuasif adalah pengendalian yang bersifat mengarahkan tanpa paksaan. Sedangkan pengendalian sosial koersif menggunakan paksaan bahkan kekerasan fisik.

Berdasarkan cara, terdapat pengendalian sosial formal dan informal. Formal yang dimaksud dalam konteks kehidupan bernegara mengacu pada legal formal seperti undang-undang. Hukum Adat dapat juga dikatakan sebagai formal apabila diadopsi dalam undang-undang. 

Pengendalian sosial formal dilakukan oleh pihak berwenang seperti polisi dan pengadilan. Sedangkan pengendalian sosial informal dapat dilakukan oleh siapa saja dengan cara seperti gosip, cemooh, dan pengucilan. Istilah kekiniannya, cancel culture.

Oke, setelah selesai membahas materi dan teori penyimpangan sosial, berikut ini contoh soal yang bisa elo kerjain.

Contoh Soal Jenis Penyimpangan Sosial

Contoh dari penyimpangan sekunder yang tepat adalah ….

a. Membolos bersama teman

b. Menyontek saat ujian

c. Keliru memakai seragam sekolah

d. Mengamen di

Bentuk Penyimpangan era Demokrasi Terpimpin

Sobat Zenius, perjalanan Indonesia sebagai negara demokrasi, ternyata cukup panjang dan berliku, lho. Salah satu tonggak penting dalam sistem pemerintahan Indonesia adalah ketika diterapkannya sistem Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959, yaitu pada era pemerintahan Presiden Soekarno.

Namun, dalam perjalanannya ternyata banyak penyimpangan yang terjadi. Nah, di dalam artikel ini, gue akan bahas lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk penyimpangan era Demokrasi Terpimpin.

Apa itu Demokrasi Terpimpin?

Time line Sistem Pemerintahan Indonesia

Demokrasi Terpimpin merupakan sistem pemerintahan yang mana kekuasaan pengambilan keputusan dan kebijakan sepenuhnya berada di tangan presiden. Dengan kata lain, kekuasaan Presiden Soekarno pada saat itu sangat absolut. Kalau elo mau membaca lebih lanjut tentang Demokrasi Terpimpin, elo bisa baca dulu di artikel ini.

Demokrasi terpimpin digunakan karena sistem pemerintah sebelumnya (demokrasi parlementer) dianggap tidak berhasil menjaga kestabilan politik. Ini bisa dilihat dari pergantian kabinet yang terlalu sering.

Pada masa demokrasi parlementer, setiap partai mempunyai kepentingan masing-masing dan ambisi berkuasa. Partai-partai ini menolak segala keputusan yang ditetapkan oleh partai penguasa. Akibatnya, setiap partai yang berkuasa mendapat mosi tidak percaya.

Selain itu muncul berbagai gerakan pemberontakan di daerah-daerah juga mendorong runtuhnya sistem demokrasi parlementer. Salah satu bentuk dari pemberontakan tersebut adalah peristiwa PRRI pada 15 Februari 1958  di Sumatera dan Permesta pada 17 Februari 1958 di Sulawesi. 

Hadirnya pemberontakan ini adalah sebagai akibat dari ketidakpuasan pemerintah daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat. Kebijakan tersebut seringkali hanya menguntukan pusat pemerintahan, khususnya Jawa dibandingkan daerah-daerah luar Jawa.

Sehingga, Presiden Soekarno mulai menerapkan sebuah sistem baru yang disebut Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959. Nah, sistem ini dianggap solusi dari krisis yang telah berlangsung sepanjang pemerintahan dengan sistem demokrasi parlementer. Menurut Soekarno, sistem ini juga sesuai dengan kepribadian nasional karena didasarkan pada sifat “gotong royong.”

Sejarah Indonesia Modern
(Sumber gambar: Wikimedia Commons)

Namun, pada pelaksanaannya, sistem ini tidak sesuai dengan ketetapan undang-undang. Menurut Ricklefs dalam bukunya “Sejarah Indonesia Modern 1200-2008”, Soekarno hanya menjadi pemimpin yang diktator. Ia juga menambahkan, banyak kebijakan-kebijakan Soekarno tidak relevan dengan keadaan bangsa saat itu.

Lantas, apa saja yang menjadi bentuk penyimpangan demokrasi terpimpin? Simak, ya!

Bentuk-Bentuk Penyimpangan Demokrasi Terpimpin

Pembubaran DPR

Pada tahun 1960, PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), melakukan penolakan terhadap RAPBN (Rancangan Anggara Pendapatan Belanja Negara) 1960, karena dianggap sebagai pameran kekuatan. 

Nah, pameran kekuatan tersebut berkaitan dengan unjuk kekuatan dalam rangka membebaskan Papua Barat dari Belanda. Soekarno mengajukan anggaran sebanyak 44 miliar, tetapi DPR hanya menyetujui 36 miliar.

Penolakan tersebut berujung pada dikeluarkannya Penetapan Presiden No.3 tahun 1960 oleh Soekarno tentang pembubaran DPR.

Mohammad Natsir dan Sutan Syahrir
Kedua tokoh dari Masyumi dan PSI yang memberikan kritik keras terhadap kebijakan Soekarno era Demokrasi Terpimpin.

Soekarno pun membentuk lembaga legislatif baru bernama DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong). Sontak, atas dorongan Hatta dan beberapa tokoh militer, serta para anggota PSI dan Masyumi, mereka membentuk Liga Demokrasi guna menentang kebijakan Soekarno tersebut.

Untuk membendung kekuatan Liga Demokrasi. Presiden Soekarno segera membentuk Front Nasional, melalui Perpres No.13 tahun 1959. Pembentukan, Front Nasional dimaksudkan untuk memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita UUD 1945 menurut pandangan Soekarno.

Kemunculan Front Nasional dan pelarangan aktivitas Liga Demokrasi, membuat perjuangan yang dibawa oleh PSI dan Masyumi, serta partai-partai lainnya menjadi sirna.

Presiden Soekarno pada akhirnya menetapkan anggota DPR-GR, sebanyak 283 kursi. Hampir 154 kursi jatuh kepada Partai Golongan Karya dan 15-24% jatuh kepada tangan PKI. Sementara PSI dan Masyumi tidak mendapat jatah kursi di dalam parlemen.

Hingga pada akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan Kepres No. 200 tahun 1960 mengenai pembubaran Masyumi. Ia juga mengeluarkan Kepres No. 201 tahun 1960 mengenai pembubaran PSI. 

Alasan pembubaran kedua partai  tersebut adalah permusuhan antara pemimpin partai dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Soekarno. Kedua partai tersebut diduga terlibat dalam pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia)

Tentu, kebijakan ini bertentangan dengan UUD 1945, karena Indonesia menganut konsep trias politica. Dalam hal ini, Presiden tidak mempunyai kewenangan untuk membubarkan DPR karena Presiden merupakan lembaga eksekutif, sedangkan DPR merupakan lembaga legislatif.

Baca Juga:

Pemberontakan PRRI

Pengintegrasian Lembaga-Lembaga Negara

Melalui Keputusan Presiden No. 94 tahun 1962, Presiden Soekarno  memutuskan mengintegrasikan atau menyatukan beberapa lembaga tertinggi negara. Beberapa lembaga tersebut antara lain MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementera), DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat – Gotong Royong) , DPA (Dewan Pertimbangan Agung), Mahkamah Agung (MA). 

Kebijakan ini tentu merupakan salah satu penyimpangan. Karena Indonesia merupakan negara yang menganut konsep trias politica atau pemisahan kekuasaan di masing-masing lembaga.

Dengan kata lain, tentu setiap lembaga mempunyai tugas dan fungsinya masing-masing. Dalam hal ini, MPRS dan DPR yang merupakan lembaga legislatif yang bertugas untuk menyusun undang-undang. 

Kemudian DPA merupakan lembaga eksekutif. Sebagai lembaga eksekutif, DPA berfungsi sebagai memberikan pertimbangan dan mengajukan usul, terhadap kebijakan pemerintah di bawah Presiden.

Sedangkan, MA termasuk merupakan lembaga yudikatif. Sebagai lembaga yudikatif, MA berfungsi sebagai pengawas tugas kehakiman, sekaligus sebagai pengadil terhadap seseorang yang melanggar undang-undang

Dengan dikeluarkannya Kepres no.94 tahun 1962, ketua dari masing-masing lembaga tersebut justru diangkat menjadi menteri. Hal ini membuat, independensi dari setiap lembaga menjadi kacau karena intervensi Soekarno.

Kedekatan dengan Blok Timur

Blok barat dan Blok Timur

Perjuangan Mengembalikan Kemerdekaan Irian Barat

Kebijakan politik luar negeri era Demokrasi Terpimpin juga cukup agresif. Perjuangan Soekarno untuk mengembalikan Irian Barat membutuhkan bantuan dari Blok Timur. Menurut Soekarno, Blok Barat kala itu tidak memberikan perhatian yang cukup besar, terhadap perjuangan Indonesia mengembalikan Irian Barat.

Baca Juga:

Pembebasan Irian Barat: Sejarah, Trikora, hingga Peran UNTEA

Kedekatannya Soekarno dengan Blok Timur, semakin memuncak kala Soekarno membagi dua dunia menjadi Nefos (New Emerging Force) dan Oldefos (Old Established Forces). Nefos merupakan negara-negara yang baru berdiri dan menentang segala bentuk imperialisme dan kolonialisme.

Sedangkan, Oldefos dianggap merupakan negara-negara yang condong terhadap praktik imperialisme dan kolonialisme. Dalam hal ini, Nefos diibaratkan sebagai negara-negara blok timur, berbeda dengan Oldefos yang dianggap sebagai negara-negara barat.

Pembentukan Ganefo

Pembagian dunia dunia ini menjadi latar belakang dari lahirnya Ganefo (Games Of The New Emerging Forces). Ganefo merupakan sebuah event olahraga internasional yang anggotanya banyak terdiri dari negara-negara Asia-Afrika dan berpaham komunis.

Pembentukan Ganefo merupakan aksi balasan Indonesia terhadap sanksi yang diberikan IOC (International Olympic Committee) yang merupakan event olahraga bentukan negara-negara barat. Pada saat itu, Indonesia menolak partisipasi Taiwan dan Israel ke dalam Asian Games IV. Penolak tersebut didasari atas dasar menjaga hubungan baik Pemerintah Indonesia dengan Republik Rakyat China dan negara-negara Arab saat itu.

Hadirnya Ganefo, tidak hanya menjadi sebuah event olahraga tandingan bentukan IOC. Ganefo juga menjadi alat politik Soekarno untuk menyatukan negara-negara Asia-Afrika yang sebelumnya merupakan bangsa terjajah. Selain itu, Ganefo juga membuat kedudukan Indonesia di dunia internasional semakin tinggi.

Konfrontasi Indonesia-Malaysia

Konfrontasi Indonesia-Malaysia
(Arsip Zenius)

Bentuk lainnya dari penyimpangan era Demokrasi Terpimpin adalah Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Menurut Soekarno, pembentukan Malaysia merupakan bentuk neo-imperialisme di kawasan Asia Tenggara.

Letak kekuasaan Inggris yang strategis, menurut Soekarno dapat membuat posisi Indonesia sebagai negara merdeka sangat terancam. Selain itu, menurut Soekarno konfrontasi ini adalah bentuk perlawanan terhadap neo-kolonialisme di Asia Tenggara.

Konflik ini memuncak ketika masuknya Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan di PBB pada 7 Januari 1965. Hal tersebut yang membuat Indonesia akhirnya keluar dari keanggotaan PBB pada tahun 1965.

Baca Juga:

Alasan Indonesia Keluar dari Keanggotaan PBB

Untuk menandingi PBB, akhirnya dibentuklah suatu badan CONEFO (Conference of New Emerging Force). Badan ini pun didirikan sebagai kekuatan baru, menghadapi pengaruh blok Barat yang sekian besar di dalam PBB. Pembentukan badan ini pun mendapat dukungan dari beberapa negara berkembang dan negara komunis.

Penutup

Sip, itu dia penjelasan dari gue seputar bentuk-bentuk penyimpangan dari Demokrasi Terpimpin. Ternyata menarik yaa sobat zenius, bagaimana perjalanan sistem pemerintahan Indonesia. Tentu sebuah sistem pasti mempunyai kekurangan, tetapi dengan kekurangan tersebut kita dapat memperbaikinya untuk kedepan.

 Oh yaa, kalau elo mau belajar materi ini lebih dalam, jangan lupa untuk klik banner di bawah ini.

Bentuk-Bentuk Penyimpangan era Demokrasi Terpimpin - Materi Sejarah Kelas 12 9

Zenius punya beberapa paket belajar yang bikin belajar nggak sekedar menghafal tapi belajar konsepnya sampai paham. Yuk, langsung aja klik banner di bawah ini!

Langganan Zenius

Terima kasih sudah membaca artikel ini, semoga bermanfaat dan selamat belajar!

Penulis : Luis Moya

Sumber

Arta, K. S. (2022). Politik Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1966. Jurnal Candra Sangkala., Vol. 4., No. 1, 1-9.