Halo! Di artikel blog Zenius kali ini gue akan membahas tentang bentuk bumi. Termasuk teorinya yaitu teori bumi bulat serta tandingannya nih, teori bumi datar.
Akhir-akhir ini di berbagai media sosial rame banget dibahas tentang bumi yang berbentuk datar (flat earth). Gak cuma di Indonesia, di Amerika pun pandangan bumi datar pun sempet rame dan cukup banyak dipercaya oleh beberapa kalangan.
Guru-guru di sekolah yang diharapkan bisa men-counter hal ini ga jarang ikut-ikutan terbawa arus, malah banyak yang ikutan dan percaya kalo bumi itu datar. Okelah, dari pada makin bingung, sekarang kita buktikan aja mana yang bener. Teori bumi bulat atau teori bumi datar? Untuk dapat jawabannya, jangan lupa baca artikel ini sampai akhir ya!

Sejarah Singkat Ilmu Pengetahuan Tentang Bumi dan Alam Semesta
Tapi sebelum gue membahas mengenai teori bumi bulat atau datar, kita perlu tau dulu nih tentang sejarah perjalanan pengetahuan manusia mengenal alam semesta.
Salah satu hal yang membedakan manusia, Homo Sapiens, dibandingkan spesies lain adalah kemampuan untuk berimajinasi. Misal kayak gini, kalo spesies-spesies lain ketemu singa, katakanlah rusa atau kuda, mereka kira-kira bakal berpikir begini “hati-hati, singa!”.
Tetapi manusia, berkat imajinasinya, bisa berpikir gini, “hati-hati, singa itu dewa penjaga hutan ini!”. Imajinasi tersebut telah membantu manusia buat survive dan menjadi spesies paling berkuasa di muka bumi ini. Kok bisa?
Berkat imajinasi, manusia juga bisa membentuk sebuah kelompok, organisasi atau hukum dan peraturan yang ga mungkin bisa dilakukan oleh spesies lain. Di sisi lain, imajinasi tersebut juga menciptakan mitos dan kepercayaan terhadap benda atau fenomena yang ada di dunia ini.
Kalo elo mau cerita lebih lanjut tentang kemampuan imajinasi manusia ini, elo bisa pantengin cerita Glenn tentang Asal-usul Konsep Uang.
Jadi jangan bayangkan apa yang lo pikirkan sekarang tentang matahari, bulan, bintang atau berbagai hal yang terjadi di dunia ini sama dengan apa yang orang-orang zaman dulu pikirkan.

Di peradaban Mesir kuno, misalnya langit digambarkan sebagai wanita raksasa, berupa dewi Nut. Nut merentangkan kaki dan tangan ke empat penjuru dunia sehingga menutupi bumi. Setiap pagi Nut melahirkan matahari dan malam harinya dia memakan kembali matahari. Siklus tersebut berulang setiap hari.
Sementara itu, Geb, dewa bumi, berbaring di bawah langit (Nut). Geb digambarkan sebagai seorang laki-laki yang berbaring di bawah lengkungan langit Nut.
Orang Mesir memiliki kepercayaan kalau gempa bumi itu disebabkan oleh Geb yang sedang tertawa. Sedangkan air laut di dunia ini merupakan air mata Nut ketika dipisahkan oleh Geb.
Terdengar liar banget imajinasinya? Kembali, jangan samakan pengetahuan manusia modern dengan manusia zaman dulu.

Berbeda dengan peradaban Mesir kuno yang menggambarkan alam semesta sebagai personifikasi dewa-dewi, di peradaban Babilonia alam semesta dibagi menjadi struktur tiga lapis dengan bumi datar yang mengambang di atas air dan berada di bawah langit.
Nah, di peradaban Babilonia inilah ilmu tentang perbintangan mulai maju, tapi meskipun begitu mereka masih menganggap benda-benda langit mempunyai kekuatan magis.
Orang-orang membayangkan bentuk tertentu yang dihasilkan dari susunan bintang, dan menghubungkannya dengan aspek tertentu dari alam atau mitologi mereka.
Orang-orang Babilonia percaya bahwa susunan bintang tersebut menentukan nasib manusia. Hal ini lah yang sekarang kita sebut dengan zodiak atau ramalan bintang.
Sedangkan Matahari, Bulan dan planet-planet (saat itu yang ditemukan Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, Saturnus) masing-masing diberi 1 hari sebagai persembahan. Jadilah satu minggu itu isinya 7 hari. Beberapa nama hari masih kita kenali sampai sekarang yaitu Sunday (matahari), Monday (bulan), Saturday (Saturnus).
Nah, di sini elo bisa lihat bagaimana orang zaman dulu mengambil kesimpulan, yaitu bukan hanya dari fakta yang mereka lihat, tapi banyak juga disertai oleh imajinasi-imajinasi.
Imajinasi tersebutlah yang akhirnya melahirkan mitologi-mitologi yang ada di berbagai peradaban. Meskipun begitu, imajinasi ini sebenernya nggak selalu salah. Kadang, bisa juga benar. Tapi, imajinasi tersebut harus bisa divalidasi (diuji kebenarannya).
Dari Mitologi ke Rasionalitas
Pada awal peradaban Yunani Kuno, banyak juga sebenarnya pemikir-pemikir yang sudah mulai rasional, tapi masih berkesimpulan bahwa bumi itu datar.
Misalnya, Thales berpendapat bahwa bumi berbentuk datar dan mengambang di air. Bumi ibarat kayu yang mengambang di tengah lautan.
Anaximander meyakini bahwa bumi berbentuk silinder pendek dengan permukaan datar dan mengambang di udara. Anaximenes percaya bahwa benda-benda langit berbentuk datar, dan kemungkinan besar dia juga berpikir bumi berbentuk datar.
Tetapi, yang membedakan argumen para pemikir di Yunani Kuno dengan sebelum-sebelumnya adalah, mereka sudah mulai berargumen berdasarkan pengamatan yang mereka lakukan, meskipun belum sempurna. Dengan kultur semacam itu, lahirlah tokoh seperti Aristoteles.
Pada 340 tahun sebelum masehi, beliau dipercaya menjadi orang pertama yang menulis pendapat tersebut dalam bukunya On the Heavens.
- Dia menyadari bahwa gerhana bulan disebabkan oleh Bumi yang berada diantara Bulan dan Matahari. Bayangan Bumi pada permukaan Bulan selalu bundar. Hal ini hanya mungkin bila Bumi bulat. Apabila Bumi datar, maka bayangannya lonjong dan hanya bulat apabila Bulan berada di atas ubun-ubun.
Dari perjalanan yang pernah dilakukan dilakukan, orang-orang Yunani mengetahui bahwa Bintang Utara tampak lebih rendah di langit bila pengamat berada lebih ke selatan (karena terletak di atas kutub Utara).
Bintang Utara berada tepat di atas ubun-ubun seorang pengamat di Kutub Utara, dan di atas horizon bila ia di khatulistiwa). Hal ini hanya mungkin bila Bumi bulat.
- Kapal yang muncul dan tenggelam di horizon (batas terjauh yang bisa teramati). Apabila ada kapal yang berlayar menjauhi kita, maka badan kapal tersebut akan tenggelam terlebih dahulu di horizon. Begitu pula sebaliknya, bagian atas kapal akan terlihat terlebih dahulu di horizon apabila mendekati kita.
Dari bukti-bukti tersebut, teori pertama yang menyatakan bahwa bumi itu bulat disampaikan oleh Aristoteles.
Gagasan Aristoteles tersebut disepakati oleh filsuf-filsuf setelahnya seperti Eratosthenes, Euclid, Aristarchus, dan Archimedes.
Eratosthenes bahkan berhasil mengukur keliling bumi menggunakan tongkat yang terletak di dua tempat yg berbeda. Dia memanfaatkan perbedaan bayangan antara dua tongkat tersebut akibat lengkung bumi untuk mengukur keliling total.

Dengan cara tersebut Eratosthenes bisa mendapatkan nilai keliling bumi 46.250 km. Cuma meleset sekitar 15% dengan keliling bumi yang diukur di zaman modern (40.075 km).
Cerita dan perhitungan selengkapnya bisa lo baca di artikel Zenius Blog berikut.
Aristoteles juga menduga Bumi tetap di tempat dan benda-benda langit yang mengelilingi Bumi, namun dia ga memiliki landasan atas argumen tersebut. Sejak saat itu, bentuk bumi udah jarang menjadi perdebatan lagi di kalangan filsuf Yunani Kuno.
Geosentris vs Heliosentris
Diskusi tentang bentuk bumi di kalangan para filsuf bisa dibilang udah ‘selesai’ setelah Aristoteles mengajukan pendapatnya di atas.
Setelah itu, pertanyaan mulai beralih yaitu tentang pusat alam semesta. Apakah bumi yang menjadi pusat (geosentris)? Dalam arti, bumi adalah pusat semua benda di luar angkasa, dan matahari, bulan, bintang bergerak mengelilingi bumi.
Ketika Bumi dijadikan acuan pengamatan, maka elo akan melihat pergerakan planet yang meliuk-liuk (retrograde). Sebagai gambarannya berikut ini pergerakan Matahari, Mars, dan Jupiter apabila diamati dari Bumi.



Ilmuwan yang bersikukuh dengan filosofi geosentris adalah Claudius Ptolemeus dari Alexandria mencoba menjelaskan fenomena tersebut sekaligus melengkapi model Aristoteles. Dalam bukunya Almagest, Ptolemeus mengajukan model Bumi sebagai pusat tata surya.
Seperti model Aristoteles, namun dengan versi yang lebih kompleks dengan memperhitungkan posisi dari matahari, bulan dan planet-planet dari Bumi. Untuk menjelaskan pergerakan planet yang meliuk-liuk (retrograde) tersebut, Ptolemeus menambahkan sub-orbit melingkar di dalam sebuah orbit (epycicle). Dengan model ini,
Ptolemeus bisa meramalkan posisi benda-benda di langit tersebut, tetapi tetap saja, model tersebut masih terlalu rumit dan gak sepenuhnya akurat. Berikut ini gambaran gerakan Mars menggunakan model Ptolemeus. (titik P berarti planet dan titik kuning berarti matahari).


Emangnya kenapa sih ketika Bumi dijadikan acuan pengamat, jadinya pergerakan planet meliuk-liuk (retrograde)?
Orbit meliuk-liuk(retrograde) tersebut bisa dijelaskan dengan sederhana apabila bumi dan planet mengelilingi pusat yang sama (matahari).
Karena jarak Bumi dan planet ke matahari berbeda, maka ketika Bumi udah berevolusi 1 kali, planet yang diamati belum tuntas berevolusi, apabila jaraknya lebih jauh dari Bumi. Supaya lebih jelas, elo bisa lihat GIF di samping.
Nah model matahari sebagai pusat tata surya (heliosentris) inilah yang coba diajukan Nicolaus Copernicus dari Polandia pada abad keenam belas masehi.
Copernicus berusaha mendobrak pengetahuan (bahwa matahari, bintang, bulan mengelilingi bumi) yang udah bertahan selama kurang lebih 1800 tahun!
Walaupun begitu, Copernicus gak berani terang-terangan bilang tentang model yang dia ajukan karena dia sendiri adalah seorang pendeta, sedangkan Gereja saat itu menganut model Ptolomeus-Aristoteles (Bumi sebagai pusat benda-benda langit).
Copernicus awalnya menyebarkan gagasannya sekitar tahun 1514 dalam sebuah naskah 40 halaman berjudul Commentariolus secara anonim ke temen-temen deketnya aja.
Model Copernicus langsung membuktikan diri jauh lebih akurat daripada model Ptolomeus dan segera menyebar di kalangan intelektual Eropa.
Di tahun 1543, beberapa saat sebelum dia meninggal, Copernicus pun berhasil menyelesaikan naskahnya secara lengkap dengan judul On the Revolutions of the Heavenly Spheres.
Buat perbandingan, sekarang coba elo perhatikan 2 model berikut:

Di Italia, model Copernicus mendapat dukungan dari Galileo Galilei yang saat itu lagi sibuk mengembangkan teleskop. Dia mengamati benda-benda langit termasuk planet Jupiter yang dikelilingi oleh beberapa satelit,
Pengembangan teleskop dan serentetan penemuan ini membuat reputasi Galileo semakin dikenal di kalangan ilmuwan pada masa itu. Namun demikian, dukungannya terhadap teori Copernicus (bahwa Bumi bukan pusat Tata Surya) menyebabkan dia berhadapan dengan kalangan gereja yang menentangnya. Dia pun dituduh ‘heretic’ atau murtad.
Biasanya, hukuman bagi mereka yang dituduh murtad pada masa itu bisa sadis banget. Tapi untungnya karena faktor usia dan banyak berjasa, Galileo akhirnya “cuma” dijatuhi hukuman tahanan rumah dan pengucilan sampai dengan akhir hidupnya, cukup enteng apabila dibandingkan dengan isu yang beredar kalo dia dihukum mati.
Hukuman lain terhadapnya cuma suatu permintaan agar dia secara terbuka mencabut kembali pendapatnya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Di saat hampir bersamaan, gagasan Copernicus tersebut diteliti dan dikembangkan oleh matematikawan Jerman, Johannes Kepler. Berdasarkan data yang Kepler dapatkan, dia menemukan bahwa pergerakan planet-planet tidak melingkar sempurna mengelilingi matahari seperti yang Copernicus pikir, tetapi berbentuk elips dengan matahari berada di salah satu fokusnya.
Namun Kepler sadar bahwa apa yang menyebabkan planet-planet tersebut tetap dalam orbitnya. Kepler menduga hal itu karena gaya magnetik, sebelum akhirnya Isaac Newton menjelaskan kalo hal itu disebabkan oleh gravitasi.
Itulah kurang lebih, cerita singkat dari perjalanan peradaban manusia dalam memahami bentuk dan posisi Planet Bumi ini.
Dari Aristoteles 2300 tahun yang lalu, Ptolemeus, Copernicus, Galileo, Kepler, hingga Newton… dan jika mau ditelusuri terus akan berlanjut pada ilmuwan modern seperti Einstein, Sagan, Hawking, dan lain-lain.
Selama ribuan tahun, setiap gagasan tentang bentuk Planet Bumi dan posisinya telah dikembangkan dan diuji berkali-kali baik dari pengamatan (empiris) maupun pendekatan Matematika.
Teori Bumi Bulat dan Bukti-Bukti Pendukungnya
Bukti bahwa bumi berbentuk bulan dapat ditunjukkan berdasarkan fenomena adanya zona waktu, hasil pengamatan dari luar angkasa hingga kisah penjelajahan manusia.
1. Adanya Zona Waktu
Zona waktu terjadi sebagai akibat dari cahaya matahari yang menyinari bagian bumi. Karena bumi bentuknya bulat, maka matahari gak bisa nih nyinarin semua permukaan bumi secara bersamaan, mesti gantian.
Akibatnya tiap daerah punya waktu yang berbeda-beda di saat yang bersamaan. Hal ini cuma bisa dijelaskan apabila bumi berbentuk bulat.

Kalo bumi datar, kita masih bisa melihat matahari meskipun jaraknya jauh.

2. Pengamatan dari Luar Angkasa
No pic, hoax! Kalo elo orangnya ga percaya sebelum lihat fotonya, saat ini (sebenernya udah sejak lama) ada beberapa foto yang diambil dari luar angkasa.



Jika elo pengen melihat citra bumi dari International Space Station (ISS), termasuk apa yang dibicarain krunya, elo bisa live streaming di sini! Jika tampilan live streaming kosong/layar biru, kemungkinan terjadi gangguan sinyal, coba elo cek direct link-nya di sini >> http://www.ustream.tv/channel/live-iss-stream.
ISS berada pada ketinggian