Kebijakan Thomas Stamford Raffles di Hindia Belanda

Sobat Zenius, Thomas Stamford Raffles merupakan salah satu letnan gubernur yang memerintah pada masa pendudukan Inggris di Indonesia. Apa saja kebijakan Thomas Stamford Raffles di Indonesia? Mari cari tahu bersama!

Pendahuluan

Sobat Zenius, apa elo pernah piknik atau scooter-an di Kebun Raya Bogor? Kalau belum, setidaknya elo pasti pernah lihat tentang kebun di dekat Istana Negara Bogor ini di media sosial dong? Elo tau nggak sih sejarah dibangunnya kebun klasik yang dipenuhi berbagai jenis tanaman ini? Oke, gue kasih tau, ya!

Jadi, pada masa kekuasaan Inggris, terdapat satu Letnan Gubernur bernama Thomas Stamford Raffles. Thomas Stamford Raffles yang saat itu mendiami Istana Bogor ingin mengubah halamannya menjadi taman bergaya Inggris klasik. Taman itulah yang kini menjadi Kebun Raya Bogor.

Tentunya Raffles nggak hanya datang ke Indonesia untuk taman. Thomas Stamford Raffles membuat perubahan di bidang politik dan ekonomi Hindia Belanda pada tahun 1811 – 1816. Menariknya, meskipun masa jabatannya nggak berlangsung lama, tapi perubahan yang ia berikan cukup besar.

Oleh karena itu, di artikel ini, gue akan mengajak kalian mempelajari kebijakan-kebijakan Thomas Stamford Raffles mulai dari bidang pemerintahan, ekonomi, kontribusi ilmu pengetahuan, serta dampak dari kebijakan-kebijakan Thomas Stamford Raffles untuk masyarakat pribumi.

Tapi, sebelum kita bahas lebih dalam, yuk kita lihat dulu kondisi Hindia Belanda saat berada di bawah kekuasaan Inggris!

Indonesia dalam Pengaruh Perancis

Pada tahun 1799, VOC dibubarkan karena mengalami kebangkrutan akibat kekosongan kas dan hutang yang terus menumpuk. Seluruh pemerintahan di Nusantara pun diambil alih oleh Kerajaan Belanda. Pada masa itu, Negeri Belanda berada di bawah kekuasaan Perancis. Demi melangsungkan sentralisasi kekuasaan yang semakin besar, maka Napoleon Bonaparte, seorang jendral dan kaisar Perancis, mengangkat adiknya, Louis Napoleon, sebagai penguasa Belanda pada tahun 1806.

Baca Juga:

4 Alasan Besar Penyebab VOC Bubar

Kemudian, Louis melakukan strategi untuk memperkuat pertahanan Jawa sebagai basis melawan Inggris di Samudera Hindia dengan mengirim Marsekal H. W. Daendels ke Batavia sebagai Letnan Gubernur pada 1808. Dengan demikian, bisa dibilang kalau saat itu Indonesia sebenarnya berada di bawah pengaruh Perancis melalui Belanda.

Masa Pemerintahan Daendels dan Janssen

Masuknya Daendels ke Jawa menjadi tanda bahwa Perancis telah menguasai atau menjajah Indonesia secara nggak langsung. Pada masa ini, sistem kerja rodi (perbudakan atau kerja paksa) diberlakukan.

Daendels berambisi membuat jalan raya pos (Anyer – Panarukan sejauh 1000 km) dengan tujuan untuk mengamankan Pulau Jawa dari serangan Inggris dan kelancaran dalam menyampaikan informasi melalui dinas pos.

Masyarakat pribumi juga dipaksa untuk bekerja membangun sebuah pabrik senjata di Surabaya, membangun pabrik meriam di Semarang dan membangun sekolah militer di Batavia. Selain kerja rodi, para petani juga dikenakan pajak yang tinggi dan wajib menyerahkan hasil panennya kepada pemerintah kolonial.

Daendels juga sangat tidak menyukai Raja-Raja Jawa, maka ia pun mengubah jabatan pejabat Belanda di kraton Solo dan kraton Yogya dari residen menjadi minister. Minister disini memiliki kedudukan yang sama dengan Raja Jawa.

Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pada masa pemerintahan Daendels sering disebut sebagai masa yang paling menyedihkan bagi pribumi karena telah memberikan penyiksaan dan menelan banyak korban.

Daendels dan William
Arsip Zenius

Masa pemerintahan Daendels berlangsung hingga bulan Mei 1811. Posisinya itu digantikan oleh Jan Willem Janssens yang sebelumnya merupakan Letnan Gubernur di Tanjung Harapan (sekarang, Afrika Selatan). Selama berkuasa, Janssens tidak melakukan banyak hal, ia hanya melanjutkan apa yang sudah dikerjakan oleh Daendels. Hal ini dikarenakan Inggris melakukan penyerangan pada tanggal 4 Agustus 1811 di Jawa. Janssens mengalami kekalahan dan terpaksa menyerahkan seluruh wilayah Hindia Belanda kepada Inggris.

Baca Juga:

Pengertian Merkantilisme, Latar Belakang, Hingga Dampaknya

Siapa Thomas Stamford Raffles?

Sir Thomas Stamford Raffles atau Raffles lahir di Jamaika pada tanggal 6 Juli 1781. 

Raffles mengawali karirnya sebagai juru tulis di British East India Company (EIC), hingga ditugaskan ke Pulau Penang (Prince of Wales’ Island) pada tahun 1805. Dalam perjalanannya menuju Penang (lima bulan), ia banyak menghabiskan waktunya untuk belajar bahasa, adat-istiadat dan sejarah Melayu.

Siapa Thomas Stamdford Raffles?
Thomas Stamford Raffles (Arsip Zenius)

Karena kemampuannya dalam berdiplomasi serta pengetahuannya terhadap budaya Melayu, maka John Leyden, seorang sahabat sekaligus penasihat Raffles, merekomendasikan Raffles kepada Lord Minto, Gubernur Jenderal EIC (East India Company). 

Ia ditugaskan untuk mengatasi permasalahan pendudukan Perancis–Belanda di Jawa yang akan mengganggu kestabilan perdagangan dan politik EIC. Ia diminta untuk menyiapkan strategi penyerangan yang cepat dan tepat di Hindia Belanda.

Raffles bersama pasukannya (sebanyak lebih dari enam puluh kapal), bergerak menyerang Belanda di Jawa pada 4 Agustus 1811. Saat itu, Hindia Belanda berada di bawah kekuasaan Gubernur Jenderal Janssens.

Pasukan Belanda yang kewalahan terpaksa mundur ke Semarang untuk menambah pasukan dan meminta bantuan prajurit Surakarta dan Yogyakarta. Tapi, sayang sekali karena ternyata bantuan tersebut masih tidak mampu untuk menyeimbangkan kekuatan dari pasukan Inggris.

Terkepungnya pasukan Belanda akhirnya membuat Janssens menyatakan telah menyerah dari pasukan Inggris pada 18 September 1811 di Tuntang, Semarang. Pernyataannya itu ia sampaikan kepada Jenderal Sir Samuel Auchmuty (Wakil Raffles) melalui Perjanjian Tuntang atau dikenal juga dengan sebutan Kapitulasi Tuntang.

Perjanjian tersebut menjadi simbol penyerahan seluruh wilayah kekuasaan Belanda di Hindia Belanda beserta pangkalan-pangkalan militernya kepada Inggris. Atas kerja kerasnya itu, maka Raffles diangkat sebagai penguasa di Hindia Belanda oleh Lord Minto.

Ohiya, setelah jabatannya sebagai Letnan Gubernur di Jawa berakhir, Raffles juga sempat menjabat sebagai Letnan Gubernur di Bencoolen (saat ini, Bengkulu) dan membangun Singapura, loh.

Kebijakan Thomas Stamford Raffles pada Masa Pemerintahannya di Hindia Belanda

Kebijakan Thomas Stamford Raffles di Hindia Belanda
Tiga prinsip Raffles dalam menerapkan kebijakan di Hindia. (Arsip Zenius)

Pada tanggal 18 September 1811, Inggris resmi memulai kekuasaannya di Hindia. Pusat pemerintahan saat itu berkedudukan di Batavia. Raffles mulai melakukan langkah-langkah untuk memperkuat kedudukan Inggris di tanah jajahan dengan cara mereformasi sistem yang lebih humanis, dibandingkan kebijakan yang dilakukan VOC maupun Belanda. Raffles berpegang pada tiga prinsip, yaitu: 

  • Segala bentuk kerja rodi dan penyerahan wajib dihapus, diganti penanaman bebas oleh rakyat. 
  • Berbeda dengan Daendels yang mengubah kedudukan pejabat kolonial menjadi setara dengan Raja-Raja Jawa. Pada masa Raffles, peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan mereka dijadikan sebagai bagian pemerintah kolonial (pegawai pemerintahan).
  • Atas dasar pandangan bahwa tanah itu milik pemerintah, maka rakyat penggarap dianggap sebagai penyewa.

Berangkat dari ketiga prinsip tersebut, maka di bawah ini merupakan kebijakan-kebijakan Thomas Stamford Raffles dalam berbagai bidang.

Kebijakan Thomas Stamford Raffles di Bidang Pemerintahan

  • Secara geopolitik, Jawa dibagi menjadi 16 karesidenan yang dibagi lagi menjadi beberapa distrik.
  • Mengubah sistem pemerintahan feodal yang selama ini digunakan oleh masyarakat pribumi, menjadi sistem pemerintahan kolonial barat. Fyi, Feodalisme merupakan sistem tatanan masyarakat yang mana kekuasaan tertinggi berada di tangan golongan bangsawan.
  • Pengubahan sistem feodal ini mengakibatkan para penguasa pribumi (bupati) tidak lagi dapat berkuasa dan hanya dianggap sebagai pegawai pemerintahan kolonial.

Kebijakan Thomas Stamford Raffles di Bidang Ekonomi

Kebijakan Thomas Stamford Raffles di bidang ekonomi fokusnya adalah untuk memajukan perekonomian di Hindia untuk meningkatkan keuntungan pemerintah kolonial, antara lain:

  • Pelaksanaan sistem sewa tanah atau pajak tanah (land rent system). Kebijakan ini berkaitan erat dengan pandangannya mengenai status tanah sebagai faktor produksi. 

Menurut kebijakan Thomas Stamford Raffles, pemerintah adalah satu-satunya pemilik tanah yang sah. Oleh karena itu, ia menganggap Petani Jawa sebagai penyewa dengan membayar pajak sewa tanah dari tanah yang diolahnya. 

Jumlah pajak disesuaikan dengan jenis dan produktivitas. Hasil sawah kelas satu dibebani 50% pajak, kelas dua 40%, dan kelas tiga 33%. Sementara untuk tegalan kelas satu 40%, kelas dua 33% dan kelas tiga 25%. Pajak yang dibayarkan diharapkan berupa uang. Tapi, jika terpaksa pajak dapat juga dibayar dengan barang lain, misalnya beras.

Pajak yang dibayar dengan uang diserahkan kepada kepala desa untuk kemudian disetorkan ke kantor residen, sedangkan pajak yang berupa beras dikirim ke kantor residen setempat oleh yang bersangkutan atas biaya sendiri.

  • Kebijakan Thomas Stamford Raffles berikutnya adalah penghapusan penyerahan wajib hasil bumi, perbudakan (mendirikan Java Benevolent Society, wadah bagi para penentang perbudakan), kerja paksa (rodi) dan sistem monopoli. Raffles memiliki pemikiran yang cukup modern di zamannya. Menurutnya, jika tidak ada unsur paksaan atau kekerasan, rakyat pun akan lebih produktif dan keuntungan pun meningkat.
  • Peletakan desa sebagai unit administrasi penjajahan, tujuannya agar desa menjadi lebih terbuka sehingga bisa berkembang. Kalau desa berkembang maka produksi juga akan meningkat, hidup rakyat bertambah baik, sehingga hasil penarikan pajak tanah juga akan bertambah besar.

Kontribusi di Bidang Ilmu Pengetahuan

Pada masa pemerintahannya, kebijakan Thomas Stamford Raffles pada bidang ilmu pengetahuan lebih banyak berfokus pada upaya-upaya untuk memahami budaya serta sejarah Indonesia. Raffles tercatat terlibat pada banyak proyek ilmu pengetahuan. Yuk, lihat apa saja!

Gunung Tambora
Arsip Zenius
  • Menulis buku The History of Java. Raffles memiliki ketertarikan yang sangat tinggi dengan bahasa, budaya dan adat-istiadat Jawa. Secara garis besar, bukunya menceritakan kehidupan masyarakat Jawa yang penuh keragaman serta keunikan geografis dan budaya. 

Sampai saat ini, bukunya masih dicetak dan tersebar banyak di toko buku manapun. Selain itu, buku ini juga sering dipakai oleh para sejarawan sebagai sumber tulisan sejarah mengenai budaya Jawa. 

  • Memberikan bantuan penelitian kepada John Crawfurd, sehingga berhasil menyelesaikan tulisannya yang berjudul History of Indian Archipelago.
  • Mendukung Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, sebuah perkumpulan Batavia untuk kesenian budaya dan ilmu pengetahuan. Contohnya, memberikan akses ke percetakan dan perpustakaan pemerintah dan membangun Museum Nasional untuk pemajangan koleksi pada tahun 1868.
  • Penemuan Candi Borobudur juga diinisiasi oleh Raffles. Saat melakukan inspeksi ke Semarang pada tahun 1814, Raffles mendengar kabar bahwa terdapat bangunan kuno sebesar bukti di tengah hutan Magelang. Ia pun segera memerintahkan Hermanus Christiaan Cornelius untuk menemukan kebenaran tersebut. Kemudian, benar saja terdapat bangunan besar yang saat ini kita kenal sebagai Candi Borobudur.
  • Raffles dikenal sebagai orang yang mencintai lingkungan, terutama di bidang Biologi. Dia memberikan sejumlah nama binatang dengan nama sumatera seperti Rhizomys sumatranensis (tikus bambu besar). 
  • Bunga bangkai yang ditemukan oleh Raffles bersama Dr. Joseph Arnold, seorang dokter dan penyuka botani, di Bencoolen juga dinamai dengan nama keduanya, yaitu Rafflesia Arnoldii.
Karya Raffles
Arsip Zenius

Kegagalan Raffles

Pada dasarnya, kebijakan Thomas Stamford Raffles di Hindia Belanda jauh lebih maju dari pendahulunya. Ia ingin memperbaiki tanah jajahan, termasuk meningkatkan kemakmuran rakyat. Tapi, niat baiknya itu kurang berhasil karena berbagai kendala dan ketidakstabilannya sendiri. Berikut merupakan faktor-faktor kegagalan dari kebijakan Thomas Stamford Raffles selama menjabat sebagai Letnan Gubernur di Jawa:

  • Budaya dan kebiasaan petani sulit diubah, pengawasan pemerintah kurang, dan peran kepala desa dan bupati lebih kuat daripada asisten residen yang berasal dari orang-orang Eropa. Para petani lebih menghormati Raja-raja Jawa atau para bupati dibandingkan pegawai Eropa.
  • Banyaknya penyelewengan yang dilakukan oleh para kepala desa sebagai pemungut pajak bagi masyarakat. Kepala desa sering menipu masyarakat dengan melebihkan jumlah pungutan demi kepentingannya sendiri. Hal ini semakin memperburuk keadaan masyarakat, tidak seperti yang diharapkan oleh Raffles.
  • Selain itu, elo inget kebijakan Thomas Stamford Raffles tentang penghapusan budak, kan? Nah, Raffles mengkhianati kebijakannya sendiri, gais. Segala upaya yang dilakukan dalam memberantas sistem kerja rodi, perbudakan dan juga monopoli jauh dari kata berhasil. 

Contohnya kerja rodi tetap diberlakukan oleh Raffles untuk pembuatan dan perbaikan jalan ataupun jembatan. Raffles juga masih melakukan monopoli garam. Ia menempatkan industri garam sebagai perusahaan negara. Urusan perdagangan dan pendistribusian garam dikelola perusahaan negara.

Lebih parahnya lagi, ternyata Raffles juga memiliki delapan budak di tempat tinggalnya, Buitenzorg (Bogor). Selain itu, ia juga mengirimkan ribuan budak dari Jawa ke Banjarmasin atas permintaan kawannya, yaitu Alexander Hare.

Akhir Pemerintahan Raffles

Keberadaan Raffles sebagai Letnan Gubernur di Hindia tidak berlangsung lama. Hal ini berkaitan dengan berakhirnya masa jabatan dari Lord Minto yang digantikan oleh Lord Moira pada tahun 1813. Sebenarnya, penunjukkan Raffles sebagai Letnan Gubernur merupakan keputusan sepihak dari Lord Minto tanpa menunggu persetujuan Dewan Direksi (EIC).

Saat posisi Lord Minto diganti, Dewan Direksi segera meminta serah terima tugas sehingga keputusan tentang Raffles menjadi keputusan Dewan Direksi dan Lord Moira. Tapi, nyatanya Lord Moira tidak begitu tertarik untuk mempertahankan Raffles sebagai Letnan Gubernur Hindia Belanda, mengingat keuntungan yang didapat dari kebijakan-kebijakan Thomas Stamford Raffles sangat sedikit untuk pemerintah kolonial. Kebijakan Thomas Stamford Raffles justru dianggap hanya membebani anggaran pusat.

Lord Minto
Arsip Zenius

Oleh karena itu, Raffles digantikan oleh John Fendall yang datang tanggal 11 Maret 1816, bertugas mengawasi kantor hingga Belanda mengambil alih beberapa bulan kemudian. 

Setelah menyelesaikan tugasnya di Jawa, Raffles diutus untuk pergi ke Bencoolen pada tahun 1811. Tujuannya adalah mendirikan dan menjalankan pemerintahan Inggris sebagai Letnan Gubernur. Selama di Bencoolen, banyak kebijakan-kebijakan Thomas Stamford Raffles yang tadinya diterapkan di Jawa yang kembali ia terapkan di wilayah ini.

Sistem Ekonomi Liberal Hindia Belanda 1870

Hai, Sobat Zenius! Pada artikel kali ini gue akan mengajak elo kembali ke masa lalu untuk mempelajari sistem ekonomi liberal, salah satu kebijakan yang dilakukan Belanda ketika menduduki Indonesia (Hindia Belanda). Sistem ini diberlakukan saat Hindia Belanda berada pada masa liberalisme (1870-1900). 

Kenapa disebut liberal (bebas dan terbuka)? karena pada masa itu, untuk pertama kalinya pemerintahan Belanda mengurangi perannya dalam kegiatan ekonomi masyarakat pribumi secara drastis. Selain itu, pemerintah Belanda juga mengakhiri segala bentuk kerja paksa dan penindasan, termasuk sistem tanam paksa (cultuurstelsel).

Pasti elo penasaran kan, seperti apa kebijakan sistem ekonomi liberal di Hindia Belanda? Yuk langsung aja kita bahas! Lesgoww!

Apa itu Sistem Ekonomi Liberal?

Contoh penerapan sistem ekonomi liberal di Indonesia
Contoh Penerapan Sistem Ekonomi Liberal (Sumber: Leiden University Libraries)

Apa yang elo ingat kalau denger kata “liberal”? Kebebasan? Terbuka? Yup, berdasarkan KBBI, kata liberal berarti berpandangan luas (bebas dan terbuka). Jadi, sistem ekonomi liberal sama aja dengan sistem ekonomi terbuka (bebas).

Loh kok bebas? Kan, Indonesia saat itu lagi dijajah Belanda.

Benar, itulah kenapa sistem ekonomi ini dianggap sebagai sistem ekonomi yang paling modern selama pendudukan Belanda di Indonesia. Pemerintah Belanda mengizinkan seluruh perusahaan swasta dari luar untuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda (sebagai investor).

Pada sistem ini, seluruh tanah dan tenaga kerja di Hindia Belanda dianggap sebagai milik perorangan (milik pribumi). Contohnya bisa elo lihat pada gambar di atas, yaitu perkebunan tembakau di Deli di mana pemilik sekaligus tenaga kerja merupakan pribumi, sementara modal didapatkan dari investor perusahaan swasta.

Terus, kenapa kebijakan sistem ekonomi liberal ini bisa diterapkan? Oke, kita bahas latar belakang kebijakan ini, ya!

Latar Belakang Diberlakukannya Ekonomi Liberal

Terdapat beberapa alasan diberlakukannya sistem ekonomi liberal, antara lain:

Desakan untuk Mengakhiri Cultuurstelsel

Pasca bangkrutnya VOC dan keikutsertaannya dalam perang, pemerintah Belanda mengalami kekosongan kas negara. Van Den Bosch yang saat itu baru saja diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda, diharapkan dapat menghasilkan pundi-pundi uang untuk menutupi hutang-hutang pemerintah Belanda yang sudah membengkak.

Van Den Bosch
Van Den Bosch (Arsip Zenius)

Maka, ia pun menerapkan suatu kebijakan yang disebut sistem tanam paksa (cultuurstelsel) pada tahun 1830. Kebijakan ini berhasil meraup keuntungan yang sangat besar. Tapi seiring berjalannya waktu, banyak kritikan yang muncul dari beberapa golongan, baik di dalam maupun luar parlemen Belanda. Siapa aja?

Dominasi Kaum Liberal di Parlemen

Pada tahun 1848, untuk pertama kalinya partai liberal mendominasi parlemen Belanda (States-General). Kaum liberal mendesak untuk diadakannya pembaharuan yang lebih “liberal” pada perekonomian negara jajahan, termasuk Hindia Belanda. Fyi, seluruh kebijakan atas tanah jajahan berada di bawah kekuasaan parlemen.

Menurut mereka, pemerintah Belanda sudah mendapatkan keuntungan yang sangat besar, berkat adanya kebijakan tanam paksa. Bayangin aja, Belanda mendapatkan keuntungan yang diperkirakan mencapai 967 juta gulden (kalau dirupiahkan saat ini setara dengan Rp8,360,766,400,727.00). Nah, loh banyak banget, kan? Haha. Sementara, rakyat pribumi hanya mendapatkan penderitaan dan kesengsaraan.

Pembaharuan yang dimaksud oleh golongan liberal, antara lain:

  • Pengurangan peranan pemerintah dalam perekonomian negara jajahan (Hindia Belanda) secara drastis.
  • Pembebasan dari pembatasan-pembatasan atas perusahaan swasta di Jawa.
  • Diakhirinya kerja paksa dan penindasan terhadap orang-orang Jawa dan Sunda.

Kritik Kaum Humanis

Kritik mengenai sistem tanam paksa ini juga datang dari kaum humanis. Pada tahun 1860, seorang mantan pejabat kolonial, Eduard Douwes Dekker, menerbitkan sebuah novel berjudul Max Havelaar, dengan menggunakan nama samaran “Multatuli”.

Max Havelaar adalah novel yang ditulis oleh Eduard Douwes Dekker atau Multatuli.
Max Havelaar adalah novel yang ditulis oleh Eduard Douwes Dekker atau Multatuli. (Arsip Zenius)

Max Havelaar mengisahkan seperti apa kekejaman dan ketamakan yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial di Jawa. Buku ini dianggap sebagai bentuk kritikan terhadap pemerintah Belanda dalam menentang rezim penjajahan pada abad-19 di Jawa, termasuk sistem tanam paksa.

Desakan Pengusaha Swasta

Saat itu Belanda merupakan negara investor terbesar nomor tiga di dunia. Hal ini dikarenakan besarnya arus investasi yang bebas dan luas. Sebagian besar dari investasi tersebut ditanamkan di Hindia Belanda karena Belanda sangat bergantung pada perkebunan di Hindia Belanda sebagai devisa utama.

Sama seperti kaum liberal, para pengusaha swasta (pemilik modal) ini juga mendesak untuk meliberalisasikan perkebunan di Hindia Belanda. Mereka menginginkan keleluasaan dalam menanamkan modalnya di Hindia Belanda. Desakan ini membuat Belanda mau tidak mau harus menyerah dan memenuhi tuntutan dari para pemilik modal tersebut.

Kebijakan Sistem Ekonomi Liberal

Berbagai kritik yang dilontarkan oleh golongan liberal dan humanis tentu menimbulkan perdebatan politik di negeri Belanda. Tapi, berkat adanya perjuangan mereka, sistem tanam paksa sedikit demi sedikit mulai dihapus hingga finalnya pada tahun 1870.

Sebagai penggantinya, parlemen Belanda memutuskan untuk menerapkan open door policy (politik pintu terbuka), yaitu pihak swasta diberi kesempatan membuka usaha atau menanamkan modalnya di Hindia Belanda (Ekonomi Liberal). Dalam menjalankan sistem ekonomi liberal ini, parlemen menetapkan tiga peraturan utama, yaitu:

Tiga aturan utama dalam kebijakan Ekonomi Liberal Hindia Belanda
Tiga aturan utama dalam Kebijakan Ekonomi Liberal Hindia Belanda (Arsip Zenius)
  • Indische Comptabiliet Wet 1867 (UU Perbendaharaan Negara), mewajibkan seluruh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Hindia Belanda disahkan oleh parlemen dan melarang mengambil keuntungan dari tanah jajahan.
  • Agrarische Wet 1870 (UU Agraria), menetapkan dasar-dasar politik tanah, yaitu:
    • Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah. Larangan ini tidak termasuk dengan tanah-tanah kecil untuk perluasan kota dan desa untuk mendirikan perusahaan dan bangunan
    • Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah yang diatur dalam undang-undang. Dalam peraturan ini tidak termasuk tanah yang telah dibuka oleh rakyat Indonesia atau dipergunakan untuk tempat menggembala ternak bagi umum atau yang masuk dalam lingkungan desa untuk keperluan umum lainnya
    • Undang-undang ini menekankan pribumi dapat memiliki tanah.Tapi, orang-orang asing diperkenankan menyewanya (hak erfpacht, yaitu hak guna usaha) dari pemerintah selama 75 tahun atau dari para pemilik pribumi selama 5 sampai 20 tahun (tergantung persyaratan pada hak pemilikan tanah).
    • Gubernur Jenderal menjaga agar jangan sampai pemberian tanah itu melanggar hak-hak rakyat Indonesia
    • Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah yang telah dibuka oleh rakyat Indonesia untuk keperluan mereka sendiri atau untuk keperluan lain kecuali untuk kepentingan umum dan untuk keperluan perkebunan yang diselenggarakan oleh pemerintah menurut peraturan-peraturan yang berlaku
    • Tanah-tanah yang dimiliki oleh rakyat Indonesia mendapat hak eigendom (hak mutlak) dengan syarat-syarat dan pembatasan yang diatur dalam undang-undang dan harus tercantum dalam surat tanda eigendom, yaitu mengenai kewajiban-kewajiban pemilik tanah kepada negara dan desa, dan juga tentang hak menjualnya kepada orang yang bukan orang Indonesia, 
  • Suiker Wet 1870 (UU Gula), menetapkan bahwa pemerintah Belanda tidak lagi memonopoli gula, melainkan perusahaan swasta yang mengatur perekonomian gula. Contohnya, perusahaan swasta diperbolehkan untuk mendirikan pabrik gula.

Penerapan Sistem Ekonomi Liberal

  • Perkebunan swasta mulai berkembang di Pulau Jawa maupun di daerah-daerah luar Pulau Jawa setelah disahkannya UU Agraria dan UU Gula.
  • Ekspansi besar-besaran perusahaan perkebunan dan pengusahaan tanaman perdagangan di Hindia Belanda, terutama pada tanaman gula, tebu, dan kopi di Jawa. Selain itu, karet dan kelapa sawit di Sumatera.
  • Daerah dengan demografi dataran tinggi digunakan untuk menanam kopi, teh, kina, dan ketela pohon di ladang-ladang. Sedangkan, di dataran rendah, digunakan untuk menanam tebu, kakao, dan tembakau.
  • Tersedianya modal swasta dalam jumlah yang besar membuat banyak perkebunan gula dan beberapa perkebunan lainnya mengimpor mesin dan berbagai peralatan yang dapat meningkatkan produktivitas. Hal ini menyebabkan kenaikan produksi yang pesat.

Traktat Sumatera 1871

Pelaksanaan  sistem ekonomi liberal juga mendorong adanya penandatanganan Traktat Sumatera. Traktat ini ditandatangani oleh Inggris dan Belanda pada tanggal 2 November 1871. Isinya adalah sebuah perjanjian bahwa Inggris membebaskan Belanda untuk memperluas jajahannya di Sumatera, khususnya di Aceh.

Pada saat itu, Terusan Suez memang baru saja dibuka (1869). Hal ini membuat pelayaran dari Eropa ke Asia menjadi lebih singkat sehingga pelayaran dan perdagangan di Asia pun semakin meningkat.

Melihat kondisi tersebut, Belanda sangat berambisi untuk menguasai Aceh, mengingat daerah ini sangat dekat dengan Selat Malaka sebagai akses masuk-keluar perdagangan. Menurut mereka, jika Aceh berhasil dikuasai, maka keuntungan perdagangan yang diterima pun semakin meningkat.

Tapi, Inggris juga memberikan beberapa syarat kepada Belanda, salah satunya mereka ingin menjadi investor di Hindia Belanda. Oleh karena itu, dengan adanya Traktat Sumatera 1871, kegiatan ekonomi liberal di Hindia Belanda pun semakin menguat . Ohiya, untuk lebih lengkapnya mengenai Traktat Sumatera 1871, elo bisa klik link ini, ya!

Baca Juga:

Sejarah Perang Aceh: Perang Terlama yang Harus Dihadapi Belanda

Dampak Sistem Ekonomi Liberal terhadap Pribumi

Berikut ini merupakan dampak yang dirasakan oleh pribumi saat sistem ekonomi liberal diberlakukan, yaitu:

  • Berkembangnya sistem ekonomi liberal berarti berkembang pula sistem kapitalisme.
  • Banyak industri perkebunan yang muncul, seperti perkebunan tembakau di Deli,Jember, Kedu, Klaten dan Kediri.
  • Muncul pula kegiatan pertambangan di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Pulau Bangka.
  • Pembangunan infrastruktur, seperti kereta api, jembatan, pabrik, dan lain-lain untuk mendukung jalannya perekonomian.
  • Terjadinya eksploitasi tanah secara besar-besaran.
  • Kekayaan pulau Jawa menguntungkan kelas menengah Belanda (pengusaha/kaum liberal) yang saat itu menguasai parlemen Belanda.
  • Sistem ekonomi liberal nyatanya nggak berhasil menaikkan kesejahteraan pribumi. Kaum liberal dianggap hanya  mementingkan prinsip kebebasan untuk mencari keuntungan tanpa memperhatikan nasib rakyat. 

Hal ini nantinya akan menimbulkan banyak kritikan dari kaum humanis, salah satunya Van De Venter yang mengecam parlemen melalui tulisannya untuk membalas hutang budi kepada Hindia Belanda. Kritikannya ini berhasil terdengar oleh Ratu Wilhelmina dan melahirkan politik etis.

Baca Juga:

Latar Belakang & Prinsip Dasar Politik Etis Van Deventer

Penutup

Demikian pembahasan gue mengenai Sistem Ekonomi Liberal 1870. Sobat Zenius, elo bisa belajar materi ini melalui video pembelajaran, loh. Klik banner di bawah ini dan jangan lupa log-in untuk bisa nonton video-video dan akses kumpulan soalnya, ya!

Penerapan Sistem Ekonomi Liberal 1870 di Hindia Belanda - Materi Sejarah Kelas 11 17

Selain itu, Sobat Zenius juga bisa, lho, belajar mata pelajaran lainnya melalui video pembelajaran lewat paket belajar Aktiva Sekolah dari Zenius. Dengan paket belajar ini, elo berkesempatan ikut try out sekolah, sesi live class, serta mendapat akses rekaman dari live class tadi. Klik banner ini untuk informasi lebih lanjut, ya!

Penerapan Sistem Ekonomi Liberal 1870 di Hindia Belanda - Materi Sejarah Kelas 11 18

Penulis: Atha Hira Dewisman